Senin 13 Dec 2021 07:05 WIB

Vladimir Putin Ungkap Pernah Bekerja Sebagai Sopir Taksi

Kondisi perekonomian yang membuat Putin harus bekerja sebagai sopir taksi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Rusia Vladimir Putin. ilustrasi
Foto: EPA-EFE/MIKHAIL KLIMENTYEV
Presiden Rusia Vladimir Putin. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - - Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyesali runtuhnya Uni Soviet tiga dekade lalu. Menurut dia, peristiwa itu membuat krsis ekonomi yang mengikutinya begitu buruk sehingga dia terpaksa bekerja sambilan sebagai sopir taksi.

Putin juga menjelaskan untuk pertama kalinya bagaimana dia terpengaruh secara pribadi oleh masa ekonomi yang sulit setelah runtuhnya Uni Soviet. Ketika itu Rusia mengalami inflasi dua digit.

Baca Juga

"Kadang-kadang (saya) harus bekerja sambilan dan mengendarai taksi. Tidak enak membicarakan ini, tetapi sayangnya, ini juga terjadi," kata presiden Rusia itu. 

Komentar yang dirilis kantor berita pemerintah Rusia RIA pada Ahad (12/12) ini juga membahas posisi Putin melihat Uni Soviet. Pernyataan itu kemungkinan akan semakin memicu spekulasi tentang niat kebijakan luar negerinya di antara para pengkritiknya. Mereka menuduhnya berencana untuk menciptakan kembali Uni Soviet dan mempertimbangkan untuk menyerang Ukraina, sebuah gagasan yang telah dibantah oleh Kremlin sebagai penyebar rasa takut.

"Itu adalah disintegrasi sejarah Rusia di bawah nama Uni Soviet," kata Putin tentang perpisahan pada 1991 dalam komentar sebagai bagian dari film dokumenter berjudul //Russia. New History//.

Putin yang bertugas di KGB era Soviet, sebelumnya menyebut runtuhnya Uni Soviet, yang diperintah dari Moskow, sebagai bencana geopolitik terbesar abad ke-20. Namun, komentar barunya menunjukkan bagaimana dia melihatnya secara khusus sebagai kemunduran bagi kekuatan Rusia.

Ukraina adalah salah satu dari 15 republik Soviet dan Putin menggunakan artikel lebih dari 5.000 kata yang diterbitkan di situs Kremlin tahun ini untuk menjelaskan mengapa dia percaya tetangga selatan Rusia dan rakyatnya adalah bagian integral dari sejarah dan budaya Rusia. Pandangan ini ditolak oleh Kiev sebagai versi sejarah yang bermotivasi politik dan terlalu disederhanakan.

Barat menuduh Rusia mengumpulkan puluhan ribu tentara di dekat Ukraina sebagai persiapan untuk kemungkinan serangan paling cepat Januari. Aliansi Kelompok Tujuh (G7) akan memperingatkan Moskow tentang konsekuensi besar dan biaya berat jika menyerang Ukraina.

Istana Kremlin mengatakan Rusia tidak memiliki rencana untuk meluncurkan serangan baru ke Ukraina. Barat tampaknya telah meyakinkan dirinya sendiri tentang niat agresif Moskow berdasarkan apa yang disebutnya sebagai cerita palsu media Barat.

Rusia mencaplok wilayah Krimea Ukraina pada 2014 dan telah mendukung separatis yang menguasai petak Ukraina timur pada tahun yang sama. Kelompok itu juga terus memerangi pasukan pemerintah Ukraina.

Baca juga : G7 Khawatir dengan Kebijakan Koersif China

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement