Senin 13 Dec 2021 12:07 WIB

OJK Terima 51 Ribu Aduan Pinjaman Online Ilegal 

Pemerintah telah menutup ribuan pinjaman online bermasalah

Rep: Novita Intan / Red: Nashih Nashrullah
Pemerintah telah menutup ribuan pinjaman online bermasalah. Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Foto: Antara/Septianda Perdana
Pemerintah telah menutup ribuan pinjaman online bermasalah. Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima 51 ribu aduan mengenai fintech peer to peer lending atau pinjaman online dari masyarakat. Adapun mayoritas aduan terkait pinjaman online ilegal atau tak berizin dan terdaftar OJK. 

Advisor Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Maskum mengatakan aduan ini melalui layanan call center sepanjang tahun ini.  

Baca Juga

"Terkait fintech ada 51 ribu, yang sebagian besar terkait fintech tidak berizin. Sedangkan (keluhan) yang berizin cuma 1.700 atau 3,33 persen dari 51 ribu itu," ujarnya saat webinar, Senin (13/12). 

Secara total, Maskum mencatat jumlah masyarakat yang menghubungi call center OJK mencapai 595 ribu sepanjang tahun ini. Adapun jumlahnya meningkat 22 kali lipat jika dibandingkan pada 2017 lalu. 

“Banyaknya keluhan dari masyarakat terkait pinjaman online ilegal ke otoritas karena rupanya masyarakat masih mengakses pinjaman tersebut. Akses pinjaman dilakukan karena masyarakat belum teredukasi dengan baik,” ucapnya. 

Maskum menyebut saat ini tingkat literasi atau pemahaman masyarakat terhadap keuangan digital masih rendah termasuk pinjaman online. Saat ini, tingkat literasi digital nasional baru 36 persen. 

"OJK sebagai regulator telah menjalankan inisiatif dalam rangka meningkatkan literasi keuangan, antara lain bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi untuk membuat kurikulum digital," katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan Selama periode 2018 hingga 2021, Satgas Waspada Investasi menutup sebanyak 3.365 pinjaman online (pinjol) ilegal di Indonesia,.  

Sri menyebut praktik kejahatan pinjol ilegal merupakan tantangan bersama bagi pemerintah, masyarakat, dan para industri pelaku industri yang memiliki komitmen untuk terus menjaga industrinya menjadi baik.

Sri mengatakan kemudahan yang ditawarkan teknologi digital harus diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang melindungi konsumen, namun tidak memgkerdilkan industri tekfin itu sendiri. 

"Perhatian ini sebetulnya juga telah disampaikan pada saat bapak presiden membuka annual meeting IMF 2018 di Bali," ungkap Sri. 

Pada saat itu, Jokowi mengeluarkan 12 elemen the Bali Fintech Agenda yang meliputi mendukung perkembangan fintech, memanfaatkan teknologi baru untuk meningkatkan pelayanan jasa keuangan, mendorong kompetisi serta berkomitmen kepada pasar yang terbuka, bebas dan teruji, perlunya inklusi keuangan untuk semua orang dan mengembangkan pasar keuangan, memantau perkembangan perubahan di sistem financial, menyesuaikan kerangka kebijakan dan praktik pengawasan terhadap perkembangan teknologi dan stabilitas sistem keuangan, dan melindungi integritas sistem keuangan.

Selain itu pula menyesuaikan kerangka hukum agar sesuai dengan perkembangan terkini, memastikan stabilitas moneter dan sistem keuangan domestik, mengembangkan sistem infrastruktur finansial dan data yang kuat guna memperoleh manfaat yang berkelanjutan dari fintech, mendorong kerjasama informasi internasional, dan meningkatkan pengawasan bersama oleh sistem moneter dan keuangan internasional.    

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement