REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Istri Gubernur Jawa Barat Atalia Praratya menegaskan, pihaknya tidak menutup-nutupi kasus kekerasan yang menimpa sejumlah santriwati. Penegasan ini menjawab tudingan bila dirinya menutupi kasus tersebut.
Sebelumnya, Atalia mengungkap jika kasus ini sudah diketahui dan ditangani pihaknya sejak Mei lalu. Namun pernyataan ini, dinilai banyak pihak dan netizen sebagai upaya menutupi kasus.
“Sesungguhnya, saya sangat memahami kemarahan netizen terhadap kondisi ini,” ujar Atalia dalam keterangan resmi, Senin (14/12).
Atalia pun menjelaskan, sejumlah klarifikasi untuk menjawab tudingan keras tersebut. Pertama, Polda Jabar, UPTD PPA Jabar, P2TP2ZA kota kabupaten, kejaksaan tinggi, LPSK, dan lain-lain telah bekerja dengan profesional sejak ditemukannya kasus ini.
“Penjangkauan, pemeriksaan, pendampingan, trauma healing dll bagi korban dan proses hukum bagi pelaku sudah dilakukan, bahkan saat ini persidangan telah digelar untuk yang ke 6 kalinya. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” paparnya.
Atalia pun membantah, tudingan soal menutupi kasus tersebut. Menurutnya, untuk menghindari predikat pahlawan kesiangan dan cari sensasi, Atalia lebih memilih fokus pada pemulihan kondisi para korban.
“Saya tidak menutupi kasus ini dari media maupun publik. Tidak mengekspos bukan berarti menutupi. Sebagai Bunda Forum Anak Daerah Jabar, tugas saya memastikan para korban usia anak ini mendapat haknya dan mendapatkan perlindungan terbaik sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Fokus pada solusi bukan sensasi,” paparnya.
Atalia menilai, dinamika yang berkembang saat ini, dengan gencarnya pemberitaan di media massa dan media sosial seperti yang pihaknya khawatirkan, patut disayangkan.
“Karena tiba- tiba ada banyak pihak yang berusaha mencari identitas dan mendekati para korban/orang tuanya untuk menggali cerita mereka, mengusik kembali hidup mereka,” katanya.
Atalia meminta, semua pihak perlu memperhatikan kondisi psikologis para korban dan orangtua mereka. Ada 5 korban yang belum sekolah dan 3 korban dikeluarkan dari sekolah karena diketahui telah memiliki anak.
“Kondisi mereka yang awalnya sudah mulai menerima keadaan, kini kembali cemas dan trauma. Bahkan ada yang ingin keluar dari sekolah dan pindah dari kampung halamannya,” katanya.
Menurut Atalia, perlindungan bagi korban, termasuk dari pemberitaan, penting. Agar korban lain pada kasus lain, berani melapor.
“Sampai saat ini saya telah berkoordinasi dengan banyak pihak memastikan langkah cepat dan paling aman agar para korban dibawah umur ini mendapatkan hak periindungan sesuai dengan UU Perlindungan Anak, memastikan masa depannya, pendidikannya serta pengakuan hukum atas bayi yang dilahirkannya,” paparnya.
Atalia juga mengajak semua pihak, baik masyarakat maupun media massa untuk bersama-sama saling membantu memberikan rasa aman pada korban dengan fokus pada hukuman berat bagi pelaku. Sehingga, hal biadab seperti ini tidak terjadi lagi.