REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Persatuan Ahli Hukum Indonesia (PAHKI) meminta kasus seksual yang dilakukan Herry Hirawan harus menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam memberikan izin dan akreditasi bagi setiap lembaga pendidikan keagamaan.
Jangan sampai izin yang dikeluarkan pemerintah disalahgunakan untuk melakukan perbuatan pidana seperti yang dilakukan Herry Hirawan kepada 21 santriwati.
"Yang salah adalah yang mengeluarkan izin dan akreditasi dan ini harus menjadi evaluasi pemerintah agar lebih selektif memberikan izin," kata Wakil Ketua Umum Persatuan Ahli Hukum Indonesia (PAHKI) Riri Purbasari Dewi, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/10).
Selain mengingatkan pemerintah, Riri juga menyarankan para donatur lebih selektif lagi memilah-milih lembaga pendidikan mana yang mesti dibantu.
Jangan sampai bantuan dari para donatur itu digunakan untuk mendukung perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan agama.
"Apalagi kalau sampai ada yang mengucurkan dana dari keuangan negara ke pesantren itu sebagai dana bantuan," ujarnya.
Riri mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak selektif dalam memberikan izin. Seharusnya demi keamanan, pemerintah harus memastikan izin yang diajukan sesuai dengan peruntukkannya.
"Sebagai tindakan preventif kenapa tidak dipastikan dulu sebelum mengeluarkan izin. Mengapa tidak diseleksi dulu sebelum bagi-bagi uang negara," katanya.
Untuk itu Riri minta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk menyelidiki apakah ada dana dari keuangan negara yang diterima kemudian disalah gunakan oleh pesantren dan panti asuhan milik Herry Hirawan. Jika ada dana negara mengalir kepada Harry Hirawan harus diperiksa. "Sekaligus periksa pihak yang memberikan bantuan," katanya.
Riri mengaku menyesalkan, kasus ini baru terungkap kepublik. Kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih selektif terutama bagi pemerintah dalam memberikan izin, donatur memberikan bantuannya, dan orang tua menempatkan putra-putrinya di lembaga pendidikan.
"Mengapa sejak Mei polri seakan menutup-nutupi kasus ini dari mata para jurnalis dan publik? Benarkah, demi melindungi para korban? Saya tidak percaya," katanya.
Menurut Riri minimnya perhatian dan supervisi dari publik terhadap kasus ini, bisa dianggap sebagai semacam intimidasi kepada para korban dan keluarganya. Sudah selayaknya korban mendapat dukungan moril dari masyarakat dan media.
"Jika tidak ada atensi dan supervisi dari masyarakat seolah mereka sedang berjuang sendirian melawan tembok kokoh yang sulit mereka robohkan," katanya.
Riri memastikan, Polri, Kejaksaan organisasi advokat di PERADI, dan Mahkamah Agung paham betul bagaimana mengelola informasi terkait kasus ini. Semua ada panduannya di UU Perlindungan Anak dan KUHAP, dalam hal menyampaikan informasi ke publik terkait kasus kejahatan kesusilaan terhadap anak.
"Korban harus dilindungi, identitas korban harus ditutupi, persidanganpun harus dinyatakan tertutup untuk umum. Semua sudah sangat paham itu," katanya.