Rabu 15 Dec 2021 11:39 WIB

Omicron Menyebar Lebih Cepat dari Varian Covid-19 Lain

Direktur Jenderal WHO sebut Omicron menyebar lebih cepat daripada varian sebelumnya

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Direktur Jenderal WHO sebut Omicron menyebar lebih cepat daripada varian sebelumnya. Ilustrasi.
Foto: AP/Denis Balibouse/Reuters Pool
Direktur Jenderal WHO sebut Omicron menyebar lebih cepat daripada varian sebelumnya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus mengatakan varian baru virus corona Omicron telah dikonfirmasi di 77 negara. Varian ini menyebar lebih cepat daripada varian sebelumnya.

"Omicron mungkin ada di sebagian besar negara, meskipun belum terdeteksi. Omicron menyebar dengan kecepatan yang belum pernah kita lihat dengan varian sebelumnya," kata Ghebreyesus dalam konferensi pers di Jenewa.

Baca Juga

Varian yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan bulan lalu ini dinyatakan sebagai varian yang mengkhawatirkan oleh badan kesehatan PBB. Ghebreyesus menyatakan keprihatinannya atas orang-orang yang menganggap Omicron sebagai penyakit ringan.

Bahkan jika varian itu menyebabkan penyakit yang tidak terlalu parah, jumlah kasus yang banyak sekali lagi dapat membanjiri sistem kesehatan yang tidak siap. Dia meminta negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah bersama dengan vaksinasi untuk keluar dari krisis.

"Ini bukan vaksin daripada masker. Bukan vaksin daripada menjaga jarak. Ini bukan vaksin daripada ventilasi atau kebersihan tangan. Lakukan semuanya. Lakukan secara konsisten. Lakukan dengan baik," kata Ghebreyesus.

Ghebreyesus mengatakan beberapa negara telah meluncurkan kampanye vaksin booster. Tindakan itu dapat menyebabkan penimbunan vaksin yang sudah terlihat pada tahun ini dan sikap tersebut justru memperburuk ketidakadilan.

"Biarkan saya menjadi sangat jelas. WHO tidak menentang booster. Kami menentang ketidakadilan. Perhatian utama kami adalah menyelamatkan nyawa, di mana-mana. Memberikan booster kepada kelompok dengan risiko rendah penyakit parah atau kematian hanya membahayakan nyawa mereka yang berisiko lebih tinggi atau masih menunggu dosis utama mereka karena keterbatasan pasokan," kata Ghebreyesus.

Menurut Ghebreyesus, prioritas di setiap negara dan secara global harus melindungi yang paling tidak terlindungi, bukan yang paling terlindungi. Sebanyak 41 negara masih belum dapat memvaksinasi 10 persen dari populasinya dan 98 negara belum mencapai 40 persen.

"Jika kita mengakhiri ketidaksetaraan, kita mengakhiri pandemi. Jika kita membiarkan ketidakadilan berlanjut, kita membiarkan pandemi berlanjut," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement