REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa kasus pelecehan seksual pada anak semakin banyak yang terkuak akhir-akhir ini. Terakhir, terungkap kasus pencabulan belasan santriwati di Madani Boarding School, Cibiru, Kota Bandung. Akibatnya, nama baik pendidikan keagamaan pun menjadi tercoreng, seperti pesantren atau rumah tahfidz.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menegaskan kasus pelecehan seksual tersebut tidak ditoleransi oleh agama. Karena itu, menurut dia, kejadian serupa harus segera diantisipasi oleh pemerintah maupun masyarakat.
“Ini kan tidak ada masalah dengan agamanya. Artinya itu bukan ajaran agama, tidak ditoleransi oleh agama, itu penyimpangan. Oleh karena itu, kita fokus bagaimana mengantisipasi terjadinya kejahatan seksual,” ujar Kiai Cholil saat bersilaturahim ke Kantor Harian Republika, Jakarta Selatan, Selasa (14/12).
Menurut Kiai Cholil, kasus tersebut tidak hanya berupa kekerasan seksual, tapi sudah merupakan kejahatan seksual. Pelaku pasti mengetahui bahwa perbuatan tersebut sangat dilarang oleh agama. Tapi, karena telah didorong oleh nafsu setan dan lupa kepada Allah, akhirnya pelaku melakukan manipulasi untuk kepentingan nafsunya sendiri.
“Dan itu tidak ada di dalam ajaran Islam, tidak ada dalam ajaran pesantren,” ucap Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini.
Oleh karena itu, Kiai Cholil berharap kepada pemerintah dan masyarakat bersama-sama melakukan antisipasi agar kedepannya kasus tersebut tidak terulang lagi. “Jadi, urusan pendidikannya tidak ada masalah. Tapi ketika itu kedok pendidikan untuk melakukan kejahatan seksual itu yang harus diantisipasi oleh pemeritnah, oleh masyarakat,” katanya.
Kiai Cholil menjelaskan setiap manusia pasti memiliki syahwat, yaitu kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya. Jika manusia baik, maka derajatnya bisa lebih tinggi dari malaikat. Namun, kata dia, ketika manusia jahat bisa menjadi lebih jahat daripada setan dan lebih rendah dari hewan.
“Oleh karena itu, pertama, kita pastikan yang melanggar itu adalah orang yang sedang lupa kepada Allah. Jadi, manusia, kiai atau ustadz itu juga ada kemungkinan untuk lupa kepada Allah. Jadi tidak ada jaminan kalau ustadz itu selalu ingat kepada Allah,” jelas Ketua Gerakan Pengasuh Pesantren Indonesia (GAPI) ini.
“Oleh karena itu, kita harus mawas diri dan juga kita saling menasihati, mungkin nasihat itu dalam bentuk apa di dalam regulasi kita, di dalam kebijakan kita, itu juga bagian dari nasihat,” kata Kiai Cholil.