REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris akan menolak apa yang dianggapnya sebagai upaya Rusia dan China untuk menegakkan kedaulatan nasional atas jalur komunikasi dan teknologi baru yang akan membentuk abad ke-21. London menggambarkan Beijing dan Moskow sebagai saingan strategis yang terburu-buru untuk menguasai beberapa teknologi utama.
"China dan Rusia terus mengadvokasi kedaulatan nasional yang lebih besar atas dunia maya sebagai jawaban atas tantangan keamanan," demikian menurut Strategi Siber Nasional Inggris yang baru akan diterbitkan pada Rabu (14/12).
Badan tersebut menyatakan perdebatan tentang aturan yang mengatur dunia maya akan semakin menjadi tempat persaingan sistemik antara kekuatan besar, dengan benturan nilai. Kedua negara dinilai sembrono dalam menguasai teknologi seperti kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan desain mikroprosesor yang dapat mengancam keamanan Barat.
Persaingan itu pun akan semakin menekan internet gratis karena kekuatan besar dan perusahaan teknologi besar mempromosikan visi bersaing standar teknis dan tata kelola internet. Saat ini, menurut Belfer Center Cyber 2020 Power Index dari Harvard University, Amerika Serikat tetap menjadi kekuatan siber teratas dunia diikuti oleh China, Inggris, Rusia, dan Belanda.
China dan Rusia berulang kali membantah tuduhan Barat bahwa keduanya berada di balik serangan dunia maya. Moskow maupun Beijing mengatakan Barat tidak dalam posisi untuk menceramahi mereka tentang peretasan atau teknologi yang mereka pilih untuk dikembangkan.
Inggris mengatakan 6G, kecerdasan buatan, mikroprosesor, dan berbagai teknologi kuantum termasuk komputasi kuantum, penginderaan kuantum, dan kriptografi pasca-kuantum adalah prioritas untuk pengembangan. Melindungi data akan menjadi lebih penting.
"Infrastruktur ini adalah aset nasional yang vital. Kami akan mengambil peran yang lebih besar dalam memastikan bahwa data cukup terlindungi saat diproses, dalam perjalanan, atau disimpan dalam skala besar, misalnya di pusat data eksternal," ujar Inggris.