REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan efektivitas vaksin Covid-19 dalam mencegah gejala parah dan kematian berkurang. Akan tetapi vaksin masih memberikan perlindungan yang signifikan.
Varian Omicron yang pertama kali dideteksi di Afrika Selatan dan Hong Kong bulan lalu sudah terdeteksi di 77 negara. Kemungkinan besar sudah ada di seluruh dunia. Namun menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus virus itu tidak boleh dianggap 'ringan'.
"Omicron menyebar dengan angka yang tidak pernah kami lihat di varian sebelumnya, apabila Omicron memang menimbulkan gejala yang lebih ringan, jumlah kasus infeksi yang banyak sekali akan kembali membuat sistem kesehatan yang tidak siap kewalahan," katanya dalam konferensi pers daring, Selasa (14/12).
"Bukti yang berkembang menunjukkan vaksin mengalami penurunan keampuhan terhadap gejala berat dan kematian dan melemah dalam mencegah gejala ringan atau infeksi," tambah Tedros.
Tedros menunjukkan bukti vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech kurang efektif mencegah orang terinfeksi virus Omicron di Afrika Selatan. Direktur kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan vaksin tidak gagal dan masih memberikan perlindungan kuat pada gejala berat dan kematian.
"Pertanyaannya berapa banyak perlindungan yang saat ini digunakan vaksin, yang mana menyelamatkan banyak nyawa dari semua varian dan sejauh mana kami kehilangan perlindungan dari gejala berat dan kematian terhadap Omicron. Data menunjukan perlindungnya masih kuat," jelasnya.
Ryan mengatakan puncak gelombang infeksi masih 'beberapa pekan lagi' mengingat betapa cepatnya penyebaran varian Omicron. Penyebarannya di seluruh dunia lebih cepat dari varian Delta.
Tedros mengatakan vaksin booster dapat memainkan peran besar dalam menekan penyebaran Covid-19 sepanjang orang yang juga membutuhkan perlindungan mendapatkan akses pada vaksin. "Ini masalah prioritas, urutannya penting. Memberikan vaksin booster pada kelompok risiko rendah gejala berat atau kematian hanya membahayakan orang yang memiliki risiko tinggi tapi masih menunggu dosis pertama karena keterbatasan pasokan," katanya.
"Di sisi lain, memberikan dosis pada orang yang memiliki risiko tinggi dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada memberikan dosis pertama pada yang resikonya rendah," tambah Tedros.