REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Hampir 100 anggota parlemen Inggris menolak peraturan pembatasan sosial yang baru. Hal ini menjadi pukulan keras otoritas Perdana Menteri Boris Johnson dan menimbulkan pertanyaan mengenai kepemimpinannya.
Setelah gagal melobi partainya sendiri, Johnson menghadapi pemberontakan terbesar terhadap pemerintahnya sejauh ini. Partai konservatif menolak apa yang disebutkan langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona varian Omicron.
Peraturan yang baru seperti mewajibkan masyarakat memakai masker di ruang publik dan menunjukkan kartu pass vaksin ke beberapa tempat tertentu berhasil diloloskan pada Selasa (14/12) karena didukung oposisi yakni Partai Buruh. Namun perlawanan Partai Konservatif yang berkuasa menambah tekanan pada Johnson.
Johnson sudah didera berbagai skandal seperti pesta Natal di Downing Street tahun lalu ketika pemerintah melarang masyarakat merayakan Natal. Masyarakat Inggris juga menyoroti mahalnya biaya merenovasi kediaman perdana menteri.
Pemberontakan anggota parlemen dari Partai Konservatif menjadi tanda peringatan pemerintah harus mengubah caranya beroperasi atau kepemimpinan Johnson akan ditantang. Sekitar 99 anggota parlemen dari Partai Konservatif menolak peraturan baru Covid-19.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan angka yang diprediksi sebelumnya yang sebanyak 98 orang, tapi angkanya ditambah satu. Anggota parlemen dari Partai Konservatif Louie French yang terpilih bulan lalu ikut menolak peraturan tersebut. Sementara media Inggris melaporkan mantan perdana menteri Theresa May termasuk 17 anggota parlemen dari Konservatif yang abstain.
Banyak anggota partai Konservatif yang menilai peraturan tersebut despotik. Beberapa mempertanyakan kebijakan yang mewajibkan kartu pass vaksin atau bukti negatif untuk masuk ke sejumlah tempat seperti klub malam.
Beberapa anggota Konservatif yang lain menggunakan suara mereka untuk menunjukan kemarahan pada Johnson. Mereka yakin orang yang membantu Konservatif memenangkan pemilihan 2019 itu menyia-nyiakan keberhasilan partai dengan kegagalannya sendiri.
Namun walaupun menghadapi ketidakpuasan dari partainya sendiri tapi sejumlah sumber mengatakan Johnson masih terlalu kuat dan sulit dijatuhkan. Walaupun Konservatif berharap hasil pemungutan suara ini menjadi 'tanda peringatan' bagi perdana menteri untuk mengubah kembali agendanya.
"Kini ia sedang dalam bahaya dan ia harus menyadarinya. Jika tidak, maka ia akan menghadapi bahaya yang lebih besar. Saya masih mendukungnya, tapi ia harus berubah," kata anggota parlemen dari Konservatif Geoffrey Clifton-Brown pada Sky News.