Rabu 15 Dec 2021 18:41 WIB

Gerak Bersama Lawan Islamofobia Lewat Konferensi London

Dewan Hak Asasi Manusia Islam gelar konferensi kesadaran Islamofobia

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Dewan Hak Asasi Manusia Islam gelar konferensi kesadaran Islamofobia. Ilustrasi Islamofobia
Foto: Christophe Petit/EPA
Dewan Hak Asasi Manusia Islam gelar konferensi kesadaran Islamofobia. Ilustrasi Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Dewan Hak Asasi Manusia Islam yang berbasis di London mengadakan kegiatan konferensi kesadaran Islamofobia. Acara tersebut berupaya menyatukan para cendekiawan dan saksi diskriminasi, untuk membahas jalan ke depan bagi umat Islam di mana pun. 

Kasus-kasus Islamofobia ada di mana-mana dan secara teratur muncul di halaman media massa. Pada 2015, Donald J Trump menyerukan penutupan total bagi Muslim yang akan memasuki Amerika Serikat. 

Baca Juga

Dari aula kekuasaan di Eropa, politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders menyampaikan narasinya yang terkenal, “Apakah saya punya masalah dengan Islam? Ya, saya punya masalah dengan Islam.”  

Baru-baru ini, anggota kongres Amerika Serikat Lauren Boebert menjadi berita utama, setelah dia menyampaikan candaan tentang pertemuannya dengan sesama anggota kongres Ilhan Omar. 

Dia menggambarkan Omar dan Rashida Tlaib, dua wanita Muslim pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres, masuk ke lift tempat dia berada. Setelahnya, dia berkata, "Saya melihat ke kiri saya, dan itu dia. Ilhan Omar. Dan menurutku, dia tidak membawa ransel, kita seharusnya baik-baik saja." 

Dilansir di AhlulBayt News Agency (ABNA), Rabu (15/12), minoritas Muslim di mana-mana sedang mendiskusikan solusi untuk krisis ini. 

Pada konferensi kesadaran Islamofobia yang diselenggarakan Komisi Hak Asasi Manusia Islam di London, panel mempertanyakan 'Seberapa banyak minoritas Muslim dapat terlibat dengan pemerintah non-Muslim mereka tanpa mengorbankan keyakinan mereka'. 

Depolitisasi masjid dan generasi muda menjadi perhatian utama. Upaya untuk mencegah kaum muda mencari keadilan dan memerangi penindasan telah diintensifkan dan meningkatkan alarm kewaspadaan. 

Ekstremisme sayap kanan tumbuh di seluruh Eropa, terwujud dalam undang-undang anti-imigrasi, larangan aturan berpakaian Islami dan mendorong sentimen anti-Islam melalui media dan ruang digital. 

Dengan kondisi tersebut, mereka menilai diskusi terkait hal ini harus dilakukan, jika stereotip yang menargetkan Muslim ingin dikonfrontasi dan didekonstruksi. 

 

Sumber: abna  

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement