Kamis 16 Dec 2021 09:01 WIB

Ijtihad Hukum Islam Perkuat Jiwa Kebangsaan

Hukum Islam menjadi bahan penting untuk meramu jiwa kebangsaan dan kemajuan Umat

Red: Gita Amanda
Acara bedah buku, “Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddiey, Hazairin, Nurcholish Majid, dan Quraish Shihab
Foto: BPIP
Acara bedah buku, “Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddiey, Hazairin, Nurcholish Majid, dan Quraish Shihab

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengalaman kolonialisme hingga kehidupan sosial politik kontemporer menimbulkan kekayaan pemikiran yang dinamis tentang relasi antara negara, pembentukan hukum, dan teologi. Sentral dalam dinamika pemikiran ini adalah bagaimana metode hukum Islam diadaptasi di dalam sistem dan bagaimana penggunaan metode tersebut berdampak praktis pada konstruksi pemikiran muslim tentang kenegaraan dan kesejahteraan bangsa. Penggunaan metode hukum Islam yang berorientasi praktis-aplikatif pada kemaslahatan (maqasid shariah) dan kemitraan yang dinamis antara hukum Islam, hukum Indonesia dan unsur kebudayaan lokal (urf) menjadi bahan penting untuk meramu jiwa kebangsaan dan kemajuan Umat Islam di Indonesia.

Gagasan tersebut mencirikan sumbangan khas Kepala Badan Pembinaan Ideologi pancasila, Prof Yudian Wahyudi, dalam Pembaruan Islam. Kekhasan ini terutama terlihat bila dibandingkan dengan para pendahulu pemikir Islam di Indonesia seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqi, Nurcholis Majid dan Quraish Shihab. Hal ini terungkap dalam acara bedah buku, “Pembaruan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddiey, Hazairin, Nurcholish Majid, dan Quraish Shihab' yang ditulis oleh Khoirul Anam, dkk. Bedah buku tersebut adalah bagian dari festival ide kebangsaan yang diselenggarakan, Rabu (15/12) lalu, di gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.

Baca Juga

Dalam sambutan pembukanya, Yudian Wahyudi, yang pernah menjadi dosen di Harvard Law School, menyebutkan para pendahulu pemikiran Islam Indonesia memiliki kelebihan masing-masing. Hazairin mengkritisi pendekatan teori receptie yang didesain oleh kepentingan kolonial untuk mencegah munculnya kekuatan Islam. Hasbi Assiddiqi berperan penting dalam memperkenalkan fikih Indonesia yang terbuka pada kebudayaan lokal (urf) sebagai sumber hukum. Nurcholis Majid menawarkan sekularisasi pemikiran. Memperkuat pemikiran keislaman, Yudian menggabungkan kelebihan-kelebihan pemikir sebelumnya dengan keunggulannya memberikan penafsiran ayat Alquran kontemporer yang aplikatif dan adaptif terhadap kebutuhan jaman.

Dalam kesempatan yang sama, Dr. Phil. Sahiron, M.A, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum dan Kepegawaian UIN Sunan Kalijaga yang juga sekaligus Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) Indonesia, menyatakan bahwa pemikiran Prof Yudian memberi kontribusi yang sangat signifikan dalam penafsiran hukum Islam di Indonesia. Pendapat ini diiyakan oleh sejumlah penulis yang menyebut Prof Yudian sebagai mujtahid. 

“Hampir 30 persen penulis resensi mengambil judul yang menyebut Prof Yudian sebagai mujtahid. Padahal mereka menulis secara organik, tidak ada panduan,” terang Sahiron dalam siaran pers.

Mengafirmasi pendapat Dr. Phil. Sahiron, Prof. Agus Najib, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan jika Prof. Yudian adalah salah satu pemikir dari PTKIN yang memiliki sanad keilmuan jelas, bagaimana pemikirannya terbentuk dari hasil kombinasi pendidikan produk barat (Eropa dan Amerika) dan timur (Islam). Bidang keahliannya sangat luas yang meliputi, filsafat, politik, hukum, pendidikan, dan sejarah Islam.

Hal tersebut tergambarkan pada pemikirannya mengenai kekuasaan dunia, bagaimana manusia dituntut memiliki kausa materialis dan kausa spiritualis yang tergambarkan dalam penguasaan IPTEK dan pengamalan ajaran agama sebagai jalan untuk menguasai dunia.

Sementara itu, Khoirul Anam, Editor buku 'Pembaruan Islam Yudian Wahyudi' menyampaikan jika belum ada sebuah buku yang agak lengkap dalam mengumpulkan tulisan dan pidato Prof Yudian di berbagai kegiatan ilmiah. Padahak di era disrupsi sekarang kita membutuhkan pemikir yang memiliki pendekatan radikal dan progresif, agar Fiqih diadopsi oleh orang Indonesia secara dinamis dengan dibarengi oleh tradisi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Indonesia.

"Saya membaca setelah zaman Khakifah Al Makmun dengan Baitul Hikmahnya, gerakan Islam cenderung surut hingga sekarang. Sampai akhirnya kita bertemu dengan pemikiran Prof Yudian yang cenderung empirik dan aplikatif," tegasnya.

Di luar sepak terjangnya sebagai pemikir, Prof Yudian juga memiliki jejak organisatoris yang kuat. Di antaranya menjadi Rektor Indonesia pertama yang menjadi Presiden AIUA (Asian Islamic Universities Association). Kiprahnya sebagai Presiden AIUA memiliki pesan kuat yang berlapis-lapis. Ini tidak hanya membuktikan pengakuan Asia kepada perguruan tinggi di Indonesia, tetapi juga pengakuan tokoh sekaligus pejabat pendidikan di Asia terhadap kapasitas Prof. Yudian.

Kemudian jika dilihat dari capaian jabatan akademik sebagai Profesor, Prof Yudian kelihatan paling menonjol karena tidak hanya mendapatkan gelar Profesor dari dalam negeri, tetapi juga mendapatkan gelar Profesor dari American Association of University Professors (2005-2006) di Amerika. Sehingga persis apa yang dikatakan oleh Dr. Phil. Sahiron bahwa Prof. Yudian adalah Sang Mujtahid Kontemporer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement