REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merespons kesediaan dokter dari Rumah Sakit (RS) Polri, Jakarta Timur, menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia untuk terpidana pelaku kekerasan seksual. Menurut Kemenkes, hal itu harus dibahas dengan berbagai pemangku kepentingan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kemungkinan dokter dari satuan tentara atau polisi bisa menjadi eksekutor kebiri kimia perlu didiskusikan.
"Ini harus dibahas dulu dengan berbagai pihak baik lintas sektor dan ahlinya juga dari sisi hukum," ujar Nadia saat dihubungi Republika, Kamis (16/12).
Terkait petunjuk teknis (juknis) aturan kebiri kimia, Nadia juga mengaku belum ada kebijakan mengenai masalah ini. Sebelumnya, tim dokter RS Polri Sukanto bisa menjadi pelaksana eksekusi suntik kebiri terhadap terpidana pelaku kejahatan seksual dan asusila.
Kepala RS Polri, Brigjen Asep Hendradana, mengatakan tim dokternya, tak cuma terikat dengan sumpah profesi sebagai dokter medis dan kesehatan, namun juga, terikat dengan sumpahnya sebagai anggota kepolisian, selaku pelaksana undang-undang (UU).
"RS Polri, tetap mengacu pada sumpahnya sebagai anggota (Polri), dan undang-undang sebagai perintah yang tertinggi," ujar Asep saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Rabu (15/12).
Asep mengatakan, tim dokter di RS Polri terbagi menjadi beberapa kategori. Dokter yang berasal dari anggota Polri, dan juga tenaga medis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri. Mereka yang berprofesi sebagai dokter di RS Polri, namun dari kalangan sipil, pun juga terikat sumpah Korps Bhayangkara.