REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat Senior Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Diah Saminarsih merekomendasikan, Pemerintah Indonesia lebih baik mengutamakan vaksinasi Covid-19 dosis lengkap daripada merealisasikan rencana memberikan penguat (booster) dosis. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksin dosis lengkap pertama dan kedua.
"Koalisi tidak menolak booster tetapi kami menginginkan adanya keberadilan dalam pemberian akses vaksin untuk semua. Vaksin yang dipentingkan adalah dosis lengkap yang harus ada untuk semua masyarakat, baru kemudian berbicara mengenai booster," ujar Diah saat berbicara di konferensi virtual bertema Tunda Booster, Prioritaskan Vaksin Dosis Penuh untuk Semua, Jumat (17/12).
Diah menilai, rencana booster yang diberikan pemerintah saat ini terlalu cepat dan bisa memberikan ketimpangan lebih lebar. Ini karena adanya suplai vaksin Covid-19 yang masih belum cukup. Sehingga, yang harus diutamakan adalah yang belum mendapatkan dosis pertama dan dosis kedua maupun orang-orang kelompok tertentu yang membutuhkannya, seperti lanjut usia di atas 65 tahun yang butuh dosis ketiga.
Menurut Diah, secara teknis memang ada orang-orang atau kelompok tertentu yang membutuhkan tiga dosis seperti lanjut usia (lansia) di atas 65 tahun. Tetapi, ia mengingatkan publik secara umum butuh dua dosis. Ia khawatir, apabila kebijakan booster vaksin dilakukan terlalu cepat atau waktunya tidak pas maka memungkinkan ketimpangan yang lebih lebar.
"Karena saat ini masih ada sekitar 50 persen dari populasi Indonesia yang belum mendapatkan dosis pertama dan dosis kedua (dosis lengkap). Sehingga, prioritas harus diberikan kepada mereka dulu (sasaran yang belum divaksin lengkap), baru kemudian memberikan booster," kata perempuan yang juga mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat bidang kesehatan CISDI tersebut.
Jika ketimpangan semakin melebar, kata Diah, mutasi virus bisa terjadi. Artinya, varian baru virus ada karena ketimpangan dalam akses vaksin. Tidak meratanya vaksinasi ini yang membuat kesempatan virus terus bermutasi. Ia mencontohkan, varian omicron pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan berasal dari seseorang yang terinfeksi HIV. Kemudian, mutasi terus berjalan dengan tidak terkendali dan akhirnya muncul omicron.
Apalagi, dia melanjutkan, cakupan vaksinasi di negara-negara Afrika baru sekitar 8 persen dari seluruh populasinya. Ia mengakui, banyak negara lain yang laju vaksinnya sudah 70 hingga 90 persen dan Indonesia sekitar 50 persen. Namun, ia mengingatkan itu tidak menutup kemungkinan omicron atau mutasi virus lainnya pindah ke negara-negara lain. "Omicron ada di 61 negara dan ketimpangan vaksin ini jadi penyebab utama," katanya.
Kemudian, jika kebijakan mengatasi mutasi adalah booster yang terlalu dini maka ini bisa membuka ketimpangan vaksinasi Covid-19 terus terjadi dan mutasi virus tak akan berhenti. Pihaknya merekomendasikan dari sisi global adalah memberikan vaksin kepada negara-negara yang lebih sedikit cakupan vaksinasinya. Kemudian di masing-masing negara tersebut harus memastikan mendapatkan vaksin dosis lengkap, khusus untuk lansia di atas 65 tahun mendapatkan tiga dosis sesuai rekomendasi grup epidemiologi WHO.
"Jadi, vaksin lengkap ini harus dikejar terlebih dahulu. Ini bukan masalah booster-nya, tapi mutasi macam omicron yang terus terjadi karena ketimpangan (pemberian vaksin)," katanya.
Diah meminta, yang harus diselesaikan adalah ketimpangan. Caranya dengan memprioritaskan memberikan dosis lengkap pertama dan kedua, bahkan dosis ketiga yang dibutuhkan untuk kelompok populasi tertentu.