REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia telah mengonfirmasi kasus pertama varian omicron pada Kamis (16/12). Epidemiolog Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan kasus pertama COVID-19 yang disebabkan infeksi varian Omicron merupakan transmisi lokal yang sumber penularanada di dalam negeri.
"Ini bukan kasus impor. Ini adalah adalah kasus transmisi lokal karena kita tidak tahu siapa yang menularkannya," kata dia, Jumat (17/12).
Kasus Omicron pertama di Tanah Air terjadi di fasilitas karantina Rumah Sakit Wisma Atlet Jakarta. Kasus dialami seorang petugas kebersihan rumah sakit berinisial N. Kasus itu diumumkan pada Kamis (16/12) siang oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Kasus itu diketahui berdasarkan hasil analisa genom sekuensing yang diterima Kementerian Kesehatan RI pada 15 Desember 2021. Syahrizal menuturkan petugas kebersihan N tidak pernah melakukan perjalanan ke luar negeri yang menyebabkan dirinya menderita COVID-19 dari infeksi varian Omicron.
Hal itu berarti orang tersebut bisa tertular COVID-19 di mana saja, bisa di Wisma Atlet, di luar rumah, atau di perjalanan. Dengan pertimbangan itu, Syahrizal menuturkan Omicron sudah menyebar di Indonesia karena kasus pertama merupakan transmisi lokal.
Jika orang datang dari luar negeri dan membawa virus dengan varian Omicron, maka hal itu digolongkan sebagai kasus impor.
Peneliti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amin Soebandrio mengatakan kasus pertama Omicron di Indonesia merupakan kasus transmisi lokal karena penderitanya tidak pergi keluar negeri.Hal itujuga berarti sumber penularan ada di dalam negeri.
Sumber penularan juga belum tentu di Wisma Atlet, karena orang yang terinfeksi dalam kasus pertama Omicron tersebut melakukan perjalanan pulang.
Ia menuturkan ada kemungkinan orang yang terinfeksi dalam kasus pertama Omicron itu tertular di mana saja, seperti di perjalanan, di rumah, di tempat lain, atau di kendaraan umum.
Untuk itu, perlu dilakukan pelacakan kontak untuk menemukan sebanyak-banyak orang yang melakukan kontak dengan orang tersebut. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya penularan sebagai langkah intervensi mencegah penyebaran yang lebih luas.
Orang itu bisa saja terinfeksi atau tertular dari seseorang yang juga tertular dari orang lain sehingga memungkinkan bukan kontak pertama.