Sabtu 18 Dec 2021 05:54 WIB

Indonesia Selalu Netral dalam Konflik dan Polarisasi di Dunia

Indonesia dinilai bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim di dunia.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana.
Foto: Dok UI
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menyatakan, Indonesia selayaknya menganut politik luar negeri bebas aktif dalam konstelasi politik dunia. Dengan begitu, kata dia, Indonesia selalu netral dalam konflik maupun polarisasi di dunia. Lagi pula, sambung dia, Indonesia bisa bersahabat dengan negara manapun.

Hanya saja, Hikmahanto mengingatkan politik luar negeri bebas aktif itu dipegang oleh Indonesia selama negeri ini tidak diganggu kepentingan nasionalnya. "Ketika Indonesia sudah diganggu kepentingan nasionalnya, maka kita harus berhadapan dengan siapa pun pengganggu itu," ucapnya dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Perebutan Pengaruh di Kawasan Pascakapitulasi AS dari Afghanistan" di Jakarta, Jumat (17/12).

Dalam siaran pers, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) tersebut mencontohkan, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, yang memang membuat Indonesia menjalin hubungan ekonomi erat dengan Cina. Namun, ketika Laut Natuna Utara diganggu oleh armada militer Cina, maka Presiden Jokowi menunjukkan sikap tegas.

"Demikian pula terhadap Amerika Serikat. Kita bersahabat dengan Amerika, tapi ketika militer Amerika, Australia, dan Inggris itu bermanuver, Presiden Jokowi perlu menentang hal itu karena bisa memicu perlombaan senjata di Asia Pasifik," ujar Hikmahanto.

Sementara itu, Indonesia dinilai bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim di dunia. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, mengatakan, Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Indonesia, sambung dia, merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Sehingga Indonesia bisa menjadi pemimpin di kalangan negara Muslim, sekaligus menjadi pemimpin di negara demokrasi.

Menurut dia, apabila dikaitkan dengan perebutan pengaruh antara Pakta Militer Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) dengan Cina, Indonesia harus menjadi pemimpin dan menolak menjadi 'ekor'. Dia menyebut, Indonesia tidak layak menjadi 'ekor' dalam konflik maupun polarisasi yang terjadi di dunia.

Indonesia adalah negara yang didesain untuk berada di tengah, baik secara geografis maupun nilai. "Karena itu, Indonesia lebih cocok menjadi pemimpin," ujar Fahri

Saat ini, kata dia, bila merujuk pada buku Samuel Huntington The Clash of Civilization and the Remaking of World Order telah terjadi konflik peradaban antara Barat dan non-Barat. Indonesia, lanjut Fahri, berada di tengah seluruh kutub itu dari segala segi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement