REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti di Imperial College London (ICL) menunjukkan bahwa risiko infeksi ulang virus corona jenis baru (Covid-19) lebih rentan terjadi akibat Omicron atau varian lain dari virus ini.
Penelitian didasarkan data dari UK Health Security Agency and National Health Service (NHS), serta orang-orang yang dinyatakan positif Covid-19 di Inggris antara 28 November hingga 11 Desember. Menurut para ilmuwan dalam studi, Omicron memiliki tingkat keparahan yang berbeda dari Delta.
“Mengontrol status vaksin, usia, jenis kelamin, etnis, status tanpa gejala, wilayah dan tanggal spesimen, Omicron dikaitkan dengan risiko infeksi ulang 5 atau 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan Delta,” ujar tim peneliti dalam studi tersebut, dilansir CGTN, Sabtu (23/12).
Perlindungan yang diberikan secara alami dari infeksi virus di masa lalu disebut hanya sekitar 19 persen. Para peneliti menemukan peningkatan risiko yang signifikan dari orang yang pernah mengalami Covid-19 untuk kembali terinfeksi akibat Omicron, bahkan cenderung bergejala.
Selain orang-orang yang pernah terinfeksi, Omicron juga rentan terhadap mereka yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19. Dalam penelitian ini, vaksin dari AstraZeneca dan Pfizer adalah yang dipelajari.
Menurut penelitian, efektivitas vaksin antara nol dan 20 persen terhadap Omicron. Sementara, jika diberikan dosis ketiga atau dikenal sebagai booster, kemampuan perlindungan vaksin Covid-19 terhadap Omicron menjadi 80 persen.
"Studi memberi bukti lebih lanjut tentang sejauh mana Omicron dapat menghindari kekebalan sebelumnya yang diberikan oleh infeksi atau vaksinasi. Tingkat penghindaran kekebalan ini berarti bahwa Omicron menimbulkan ancaman besar dan segera bagi kesehatan masyarakat," jelas pemimpin studi di ICL, Neil Ferguson.
Meski demikian, Clive Dix, mantan Ketua Gugus Tugas Vaksin Inggris, mengatakan penting untuk tidak menginterpretasikan data secara berlebihan. Ia menyebut bahwa kesimpulan yang dibuat didasarkan pada asumsi tentang Omicron di mana itu dinilai masih belum cukup.
"Misalnya, kami tidak memiliki data tentang respons imun seluler yang sekarang mungkin mendorong efektivitas vaksin. Ini adalah asumsi penting yang hilang dalam pemodelan," kata Dix.
Beberapa kesimpulan berbeda dari data yang muncul dari Afrika Selatan, di mana vaksin bertahan dengan baik terhadap penyakit parah dan kematian akibat Covid-19 saat ini. Dix mengatakan ada sejumlah besar ketidakpastian dalam perkiraan model ini.
"Kami hanya bisa yakin tentang dampak booster terhadap Omicron ketika kami memiliki satu bulan lagi data dunia nyata tentang jumlah dan kematian akibat Covid-19 bagi pasien di Unit Perawatan Instensif (ICU) dan rawat inap biasa," jelas Dix.