REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsen atau persetujuan perempuan kerap disebut sebagai budaya yang berasal dari Barat. Konsen pun dinilai menyebabkan pergeseran budaya yang lebih permisif dan menyebabkan pada praktik kebebasan seksual di Indonesia.
Lantas, apakah Islam mengenal konsep consent atau persetujuan perempuan? Bagaimana Islam memandang otonomi tubuh perempuan termasuk di dalamnya consent atau persetujuan perempuan secara umum dan dalam konteks kekerasan pada perempuan?
Bersama Reducates, Fatayat DIY, Madrasah Virtual Ulul Albab dan Neswa, PCINU Amerika Serikat-Kanada menyelenggarakan Kuliah Online terkait Perempuan Seri I pada hari Kamis, 2 Desember 2021.
Lewat keterangan tertulis kepada Republika.co.id, kuliah ini merespon maraknya pertanyaan terkait kontroversi seputar konsen yang meramaikan lini masa seiring dengan pengesahan Permenikbud No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kuliah ini menghadirkan Professor Etin Anwar, pakar Studi Islam dari Hobart William Smith (HWS) College New York, penulis buku A Genealogy of Islamic Feminism yang diterbitkan oleh Routledge dan sudah diterjemahkan ke edisi Bahasa Indonesia dengan judul Féminisme Islam : Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia (Mizan, 2021).
Dalam pembukaannya, host sekaligus moderator acara, Yuyun Sri Wahyuni, kandidat doktor dalam Global Gender Studies di Universiy at Buffalo New York menyinggung tentang pentingnya acara ini karena menyingkap tabir konsep konsen sekaligus menemukan titik temu konsep ini dalam perspektif Barat dan Islam.
Prof. Etin di awal diskusi menjelaskan aspek keberatan dari sekelompok pihak terhadap konsep ‘konsen’, yang dianggap bias barat. Meskipun masih bersifat spekulatif, jika menggunakan kerangka mafhum mukhalafah konsep konsen bisa menggiring pada kebebasan seksual atau zina.
Sementara itu, lanjut Etin yang juga founder Reducates ini, untuk memahami konsen dalam konteks masyarakat Barat, konsen perlu dilihat sebagai muara dari rangkaian konsep liberal self yang mana diri memiliki kebebasan berekspresi, yang selanjutnya mendorong confidence culture dimana menjadi asertif begitu penting dan ketidakmauan (‘no’) harus dimaknai sebagai ketidaksetujuan (‘no’).
Lebih lanjut, terkait posisi konsen dalam Islam, Prof Etin yang juga Wakil Rois Syuriah PCINU AS-K ini melihat konsen sebagai etika, yang mana manusia memiliki kapasitas untuk menjadi makhluk berakhlak, makhluk yang menyadari keberadaan Allah, dan memiliki iradah atau kemampuan memilih, meski demikian kehendak tetap datangnya dari Allah. Etin juga menjelaskan bahwa ada pengakuan bahkan seruan di dalam Islam terhadap asertivitas perempuan dimana perempuan bebas mengekpresikan perasaan positif maupun negatif dengan tegas tanpa agresif, misalnya ada hadis yang menarasikan kebolehan perempuan menolak untuk dinikahkan oleh walinya dan tidak dibolehkannya paksaan dalam pernikahan.
Di akhir paparan, Prof Etin menjelaskan, argumen bahwa konsen harus dilihat dalam konteks menciptakan keamanan dan inklusivitas dalam lingkungan. Konsen juga perlu ditempatkan dalam konteks perempuan sebagai agensi moral yang memiliki kapasitas untuk menyetujui maupun menolak, yang memiliki kapasitas untuk mengaspirasikan kehendak Allah, dan potensi berbuat baik. Selanjutnya, dalam konteks di Indonesia, konsen dijiwai oleh semangat Islam dan berkembang dalam konteks warga negara yang berhaluan Demokrasi Pancasila.
Di akhir acara, Yuyun yang juga Sekretaris PCINU AS-K menjelaskan bahwa sekolah semacam ini akan diselenggarakan secara rutin dan berkala dengan membahas topik terkait keperempuanan atau isu gender kekinian lainnya.