REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan, membatasi ucapan yang tidak berguna dapat menyelamatkan diri dan harta seseorang dari petaka. Karena petaka berawal dari banyak bicara yang tidak penting bagi dirinya maupun orang lain.
Tentang perkataan tidak ada guna, Abu Hamid Al-Ghazali mencontohkan, misalnya jika engkau baru pulang dari suatu perjalanan, kemudian duduk bersama teman-teman menceritakan semua perjalanan dan apa yang dilihat dalam perjalanan.
Misalnya menceritakan gunung, sungai, makanan yang beraneka ragam, kehidupan masyarakat lain yang mengagumkan. Serta menceritakan kejadian-kejadian yang kau alami selama di perjalanan.
"Padahal, jika engkau tidak bilang atau tidak membicarakannya kamu idak akan berdosa dan tidak pula membahayakan dirimu," tulisan Imam Ghazali dalam kitabnya Alal-al-Lisan yang telah diterjemahkan oleh Fuad Kauma menjadi 'Bahaya Lisan'.
Seandainya engkau, mengatakan apa adanya tanpa menambah dan mengurangi, tanpa ada rasa membanggakan diri karena dapat mendapat hal-hal yang besar, tidak membicarakan aib orang lain terhindar dari mencaci suatu dari ciptaan Allah itu pun berarti telah menyia-nyiakan waktumu.
"Bagaimana engkau akan selamat dari ancaman bahaya lisan? Begitu pula dengan perkataan basa-basi belaka," katanya.
Misalnya, menanyakan kepada seseorang tentang sesuatu yang tidak penting dan tidak berhubungan dengan diri sendiri. Sebab, di samping telah menyia-nyiakan waktu, dan perbuatan itu menyeret temanmu untuk menyianyikan waktunya.
"Begitu pula jika sesuatu yang engkau tanyakan tidak mendatangkan bahaya. Padahal tanpa engkau sadari dibalik pertanyaan itu banyak terdapat bahaya," katanya.
Misalnya, pertanyaanmu apakah engkau sedang berpuasa? "Mungkin saja temanmu akan menjawabnya karena ia memang senang berpuasa. Tanpa engkau sadari engkau telah memamerkan amal ibadahnya. Kemudian secara samar, Riya pun telah memasuki ke hatinya.
"Maka ibadahnya menjadi gugur dari catatan ibadah rahasia. Padahal, ibadah rahasia itu yang tidak diketahui orang itu lebih utama beberapa derajat dibandingkan dengan ibadah yang terbuka," katanya.
Jika temanmu menjawab tidak maka jelas dia telah berdusta, meskipun hal itu dilakukan untuk merahasiakan amal ibadahnya. Jika temanmu diam saja tidak menjawab pertanyaanmu, maka ia akan engkau anggap telah meremehkan dirimu.
"Dengan begitu engkau akan sakit hati," katanya.
Jika ia berupaya untuk menolak jawaban, maka ia harus memaksakan diri akan sesuatu yang menyulitkan dirinya. Dengan pertanyaan itu engkau telah membebani dirinya dengan bahaya Riya, dusta, penghinaan, atau kesulitan dalam menolak.
Begitu juga dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai ibadah lainnya, pertanyaan tentang perbuatan maksiat atau tentang setiap perbuatan yang disembunyikan, karena ia merasa malu jika diketahui orang lain. Atau menanyakan tentang apa yang telah ia katakan kepada orang lain.
Perkataan yang tidak penting lainnya sering dilakukan adalah, ketika berpapasan dengan seorang di tengah jalan, kemudian engkau menyapanya dengan pertanyaan dari mana?
Sikap seperti ini terkadang membuat orang yang disapa terasa berat untuk menjelaskannya. Karena ia merasa risih atau malu. Jika ia sampai berdusta ia telah terperosok ke lembah kedustaan,
"Sedangkan engkau sebagai penyebabnya maka dari itu kurangi suatu hal yang tidak ada gunanya," katanya.