REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dialog peradaban terus digalakkan demi mewujudkan kembali pedaban Islam. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang telah terbukti mampu berkembang memberikan peradaban yang bermartabat dan kaya akan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama berabad-abad lamanya.
Karena itu diperlukan diskursus peradaban yang dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Demikian disampaikan Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasy dalam Seminar Kepemudaan Pemuda Hidayatullah di arena Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2021.
Rakernas Pemuda Hidayatullah ini dilaksanakan di Kampus Ar-Rohmah Putri II Pesantren Hidayatullah Malang, 17-19 Desember 2021. Rakernas ini mengusung tema, "Membumikan Diskursus Peradaban Islam menuju Gerakan Pemuda Hidayatullah yang Progresif Beradab".
“Sebelum kita memahami apa itu peradaban, kita harus memahami dulu apa itu Islam,” ujar Prof Hamid memulai diskusinya, Sabtu (18/12).
Prof Hamid yang juga rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor ini menjelaskan bahwa umat Islam tidak bisa memisahkan antara syariat, akidah dan akhlak. Karena, menurutnya, ada yang hanya mementingkan salah satu dan mengabaikan yang lain.
Alquran sebagai rujukan utama adalah ma’dubah (makanan jiwa). Oleh sebab itu sangat relevan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Alquran. “Jadi Alquran itu sebagai sebagai ta’dib nabi sehingga menjadi ahsanul taqwim,” ujar Prof Hamid dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Makna adab di sini adalah kombinasi dari ilmu, iman dan amal. Orang beradab adalah orang yang beramal sesuai dengan syariat, akidah dan akhlak.
Selain dari itu Alquran sendiri kitab suci yang memiliki sekian banyak perangkat untuk membangun peradaban. Asas dari seluruhnya itu disebutkan dalam Surah Ibrahim 24-25 yang menggambarkan pohon sebagai Tauhid dari dasar.
“Itu metafora dari pedaban Islam yang dengan Tauhid itu ia akan menjadi sebuah peradaban ilmu pengetahun yang pernah dicapai oleh peradaban sebelumnya dan setelahnya hingga hari ini,” ujarnya.
Artinya peradaban yang dibangun oleh umat Islam itu adalah peradaban yang betul-betul mempunyai dampak terhadap manusia dan kemanusiaan.
Prof Hamid mengutip pernyataan seorang Orientalis, dalam bukunya “Islamic Civilazation in Thirty Lives, The 1000 Years”, Chase Robinson yang mengatakan, “Alquran jadi inspirasi, wisdom, referensi, etiket, perilaku. Alquran tidak membuat orang terpelajar, tapi tanpa Alquran tidak pernah terpikirkan.”
Menurut Prof Hamid, itu artinya bahwa di zaman dulu orang selalu membaca Alquran, ketika mereka perlu petunjuk mereka membaca Alquran. Tetapi hanya sekedar bisa membaca dan menghafal Alquran tidak menjadikan orang itu terpelajar.
“Oleh karena itu Alquran sebagai sumber peradaban harus betul-betul dipahami dan diamalkan, bukan hanya dibaca dan dihafalkan. Dari Alquran sebagai rujukan inilah dapat diturunkan menjadi gerakan-gerakan pendidikan, ekonomi dan politik,” ujarnya.
Dari Alquran menjadi tradisi ilmu
Prof Hamid menambahkan, tradisi Ilmu dalam Islam adalah tradisi yang dibangun dari tafaqquh terhadap Kitab suci Alquran yang kemudian berkembang menjadi ilmu (syariah), iman (akidah) dan amal (akhla). Ketiganya menyatu dalam kehidupan para ulama dan saintis Muslim yang membentuk worldview Islam.
“Tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashhab al-Suffah,” tuturnya.
Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks.
“Problemnya adalah kita hari ini belum sampai menurunkan Alquran ini menjadi gerakan. Kita hanya setingkat menghafal dan memahami Alquran. Belum sampai menurunkan menjadi gerakan pendidikan, ekonomi dan politik,” ujar Prof Hamid.