REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Terdakwa Kasus ASABRI Heru Hidayat, Kresna Hutauruk bersikeras tuntutan hukuman mati Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya keliru. Kresna menilai JPU dari Kejaksaan Agung telah menyesatkan publik.
Ia beralasan, replik atau jawaban JPU atas sanggahan terdakwa, menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan dalam putusan kasasi. "Kami sangat menyayangkan tindakan JPU yang menggunakan dalil putusan Pengadilan Negeri yang sudah dibatalkan oleh Putusan Kasasi hanya untuk memaksakan tuntutan di luar dakwaan, yang jelas menyimpang. Ini menunjukkan JPU sudah kehabisan akal," ujar Kresna saat membacakan duplik Heru Hidayat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/12).
Kresna mengatakan, sebenarnya tidak ada hal baru dalam replik JPU selain mengulang apa yang dituangkan dalam surat dakwaan Heru Hidayat. Satu-satunya hal baru dalam replik JPU tersebut, kata Kresna, adalah mengutip Putusan Pengadilan Negeri perkara Susi Tur Andayani di mana hakim memutus di luar dakwaan.
Namun, kata Kresna, JPU lupa mengabaikan fakta bahwa putusan PN Susi tersebut sudah dibatalkan oleh putusan kasasi karena hakim PN memutuskan di luar dakwaan. "Dalam duplik, kami sudah membantah dalil JPU tersebut, sebab Putusan Pengadilan Negeri perkara tersebut sudah dibatalkan oleh Putusan Kasasi yang berkekuatan hukum tetap dengan alasan pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan musyawarah Majelis Hakim didasarkan atas Surat Dakwaan Jaksa," jelas Kresna.
Menurut Kresna, JPU tidak boleh menyesatkan masyarakat dengan memaksakan sesuatu yang berada di luar koridor hukum. Tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat, kata dia, sudah jelas melanggar aturan dan berlebihan. "JPU tidak boleh menghalalkan segala cara dengan kekuasaannya untuk menuntut terdakwa di luar surat dakwaan," kata dia.
Dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidayat, JPU sama sekali tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor merupakan pasal yang mengatur pidana mati bagi terdakwa jika melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter atau pengulangan tindak pidana. Namun, dalam tuntutan, JPU justru menuntut Heru Hidayat dengan pidana mati.
Lebih lanjut, Kresna juga menyayangkan tindakan JPU yang kembali memaksakan tuduhan kerugian negara dalam kasus ASABRI sebesar Rp 22 triliun hanya dengan menghitung uang keluar periode 2012-2019.
Padahal, dalam periode tersebut ASABRI tidak hanya keluar uang, melainkan juga menerima keuntungan dari penjualan saham. Bahkan, sampai saat ini masih memiliki saham dan unit penyertaan reksadana yang masih bernilai.
"Apabila metode penghitungan hanya menghitung uang keluar, tentunya bukan hanya ASABRI yang mengalami kerugian, perusahaan seluruh dunia juga akan mengalami kerugian. Karena itu, jelas kerugian negara dalam perkara ini tidak tepat," kata Kresna.
JPU dalam tuntutannya di kasus korupsi ASABRI menuntut hukuman mati pada terdakwa Heru Hidayat. Bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu, dituntut maksimal karena dinilai terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan dana investasi saham dan reksa dana milik PT ASABRI.
JPU dalam tuntutannya mengatakan, negara dirugikan Rp 22,78 triliun dalam kasus tersebut. Dalam tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat, pada Senin (6/12) malam, Heru Hidayat dikatakan jaksa terbukti melakukan perbuatan yang disangkakan dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Tipikor 31/1999-20/2001. Serta Pasal 3 UU TPPU 8/2010 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. JPU meminta majelis hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat bersalah melakukan tindak pidana seperti dalam dakwaan tersebut bersama-sama dengan terdakwa lain.