Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Jaman telah berubah, maka bangunlah. Begitu kira-kira pesan besar yang disampaikan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di hadapan para perwira dan pejabat kepolisian pada akhir pekan lalu. Listyo tidak sekadar mendengung, ia membawa seabrek data yang telah dikemas dalam presentasi yang menarik.
Perkembangan media sosial memang tidak lagi bisa dibendung. Masyarakat medsos telah menjadi massa riil yang tidak lagi membutuhkan jadwal, tempat, dan kapan mereka berunjuk rasa. Begitu ada kasus muncul, maka sebuah kekuatan besar langsung terbentuk, bertalian, menggelinding, dan menyebar tanpa komando: Viral. Menariknya, sesuatu yang berstatus viral ini selalu mendapat tempat untuk berhasil.
Setidaknya, ada tiga isu besar yang disampaikan Listyo dalam arahannya pada forum rapat koordinasi analisis dan evaluasi Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri di Yogyakarta, Jumat (17/12) itu. Dan semuanya berkaitan dengan media sosial, dan sangat relevan dengan sejumlah peristiwa yang melibatkan oknum polisi akhir-akhir ini.
Pertama, soal laporan masyarakat kepada polisi. Listyo mengaku masih adanya masyarakat yang menyampaikan langsung laporan lewat akun media sosial Kapolri. Padahal, laporan itu harusnya berada pada sistem yang berjalan di Polsek, Polres, Polda, hingga Mebes Polri. Jalan pintas yang ditempuh masyarakat tersebut menandakan adanya kelumpuhan sistem, sehingga mereka harus melompat keluar nadi.
“Ada sumbatan komunikasi yang tidak terjawab. Seperti laporan masuk yang tidak direspons atau ada sistem tidak mau menerima laporan. Tolong cek bagaimana sistem pengaduan di polres dan polsek ini,” kata Listyo.
Soal tidak mau menerima laporan ini, ada kasus Aipda Rudi Panjaitan, anggota Polsek Pulogadung, Jakarta Timur yang terbukti menolak laporan dari korban perampokan. Pada Jumat pekan lalu, sidang etik di Polda Metro Jaya menyatakan oknum polisi itu bersalah.
Proses etik itu dimulai dari viralnya postingan akun Instagram @kumalameta beberapa saat sebelumnya. Akun itu mengunggah pengalamannya saat dirampok di daerah Jalan Sedayu, Jakarta Timur. Korban yang mendatangi Polsek Pulogadung untuk melapor justru diminta pulang. Aipda Rudi beralasan percuma mencari para perampok tersebut. Bahkan, korban mengaku sempat diomelin.
Poin kedua yang disampaikan Listyo berkaitan dengan kekuatan media sosial yang kini telah berubah menjadi juri untuk kepolisian. Viral telah menjadi fenomena baru untuk menghakimi perilaku oknum polisi, yang tentunya berdampak pada lembaga kepolisian. Listyo menyoroti munculnya tanda pagar (tagar/#) #PercumaLaporPolisi, tagar #1Hari1Oknum, #NoViralNoJustice, dan terbaru adalah #ViralForJustice.
Tentu saja ini harus menjadi perhatian semua jajaran kepolisian karena stigma itu telah melahirkan persepsi baru tentang polisi. Hemat penulis, semua tagar di atas merupakan satu rangkaian yang bertalian. Tali besarnya adalah akumulasi kekecewaan yang selama ini terpendam dari benak masyarakat. Simpulnya adalah reaksi dari hasil yang dicapai oleh aksi pertama tersebut.
Tanda pagar #PercumaLaporPolisi misalnya. Muncul setelah Polda Sulawesi Selatan dan Polres Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus bapak memperkosa tiga anak kandungnya di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur pada Oktober lalu. Penghentian proses kasus tersebut dinilai tidak berpihak kepada masyarakat, yaitu ibu kandung korban yang melaporkannya. Setelah viral, penyelidikan kasus itu pun kembali dibuka, meskipun dengan laporan baru.
Tagar ini kembali ramai di Twitter awal Desember lalu. Kali ini, para netizen mengungkapkan kekecewaannya terkait kasus bunuh diri mahasiswi Universitas Brawijaya Malang, NRW (23 tahun). Kebetulan, pelakunya adalah oknum polisi Randy. Setelah viral, polisi pun melakukan penyelidikan yang berakhir menersangkakan oknum polisi tersebut.
Setelah itu, kasus demi kasus pun muncul dan viral di media sosial, terutama yang melibatkan oknum polisi. Hal ini pun memunculkan tagar baru, #NoViralNoJustice.
Menurut Listyo, masyarakat membuat perbandingan dengan kasus yang dimulai dengan diviralkan dengan kasus yang dimulai dengan laporan dalam kondisi biasa. Masyarakat melihat kasus yang diviralkan cenderung selesai dengan cepat. Bahkan memunculkan tagar baru, #ViralForJustice.
"Fenomena ini harus dievaluasi, kenapa terjadi. Kemudian sudah melekat di masyarakat harus viral, kalau tidak viral prosesnya tidak akan berjalan dengan baik," kata Listyo.
Persepsi yang terbangun di media sosial itu pun terwujud dalam sebuah analisis emosional masyarakat terhadap Polri. Berdasarkan hasil analisis per 15 November hingga 16 Desember 2021 tersebut, ada masyarakat yang percaya, marah, jijik, sedih, dan senang terhadap Polri.
Pada poin terakhir ini, Listyo menyoroti khusus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi yang hanya 10 persen. Persentasi sisanya terbagi dalam emosi yang tidak mengenakan bagi Polri. Karena itu, dalam pertemuan tersebut, Listyo mewanti agar semua jajarannya melakukan evaluasi dan perbaikan sehingga kepercayaan masyarakat semakin meningkat. Sementara, tingkat emosional yang buruk harus ditekan.
Bagaimana pun, Koprs Bayangkara harus menyadari, masyarakat masih akan tetap membutuhkan petugas kepolisian. Sebopeng apa pun wajahnya kini. Fenomena viral yang mempermalukan lembaga kepolisian harusnya bisa ditekan dengan bergerak lebih cepat. Sehingga konsep Presisi yang dijanjikan Kapolri pun tidak menjadi taruhannya.
Setidaknya, kepolisian telah mendapat cukup amunisi sebelum sebuah kasus menjadi amukan liar para netizen. Tindaklanjuti dan jelaskanlah apa adanya. "Satu hal yang harus kita catat. Bahwa masyarakat masih memiliki harapan, bahwa Polri akan menjadi baik," kata Listyo.