Selasa 21 Dec 2021 18:08 WIB

Ada 'Duit Lebih' Triliunan, Pemerintah Kurangi Jual Surat Utang

Pemerintah mengoptimalkan penggunaan dana SiLPA 2020 yang mencapai Rp 216,4 triliun.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi). Pemerintah mengurangi penerbitan surat utang pada tahun 2021 sebesar Rp 263 triliun.
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi). Pemerintah mengurangi penerbitan surat utang pada tahun 2021 sebesar Rp 263 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengurangi penerbitan surat utang pada tahun ini sebesar Rp 263 triliun. Hal ini sejalan dengan proses pemulihan ekonomi nasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemulihan ekonomi terlihat dari penurunan defisit APBN pada November 2021. Tercatat saat ini defisit hanya 3,63 persen dibandingkan November 2020 sebesar 5,7 persen.

Baca Juga

“2021 kita sudah melihat cerita pemulihan ekonomi, rakyat tadi dibantu APBN. Namun sisi lain APBN juga mulai pulih dengan penerimaan negara yang mengalami penguatan luar biasa, sehingga tahun ini kita mengurangi penerbitan utang kita hingga Rp 263 triliun,” ujarnya saat konferensi pers APBN KiTA November 2021 secara virtual, Selasa (21/12).

Menurutnya pengurangan penerbitan surat utang tersebut juga dilakukan karena pemerintah berupaya mengoptimalkan penggunaan SiLPA. Pada November 2020 SiLPA sebesar Rp 216,4 triliun dan menurun sebesar Rp 31,6 triliun pada November 2021.

“Kita menggunakan sisa anggaran Rp 216 triliun tahun lalu. Pada tahun ini akan mengalami penurunan jadi Rp 31,6 triliun. SiLPA-nya yang tahun lalu yang sangat besar digunakan, sehingga kita mengurangi penerbitan surat berharga negara, dan sisi lain SiLPA tahun ini akan sangat jauh lebih rendah,” ucapnya.

Selanjutnya pembiayaan investasi disalurkan sebesar Rp 116,3 triliun. Sri Mulyani pun memastikan pembiayaan investasi dilaksanakan sesuai jadwal dan tahapan pelaksanaan dalam mendukung kerja keras APBN sebagai upaya pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Di samping itu, Sri Mulyani memproyeksi laju pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2021 tumbuh di atas lima persen. Pertumbuhan itu lebih tinggi dibandingkan kuartal III 2021 sebesar 3,51 persen.

“Didorong akselerasi pemulihan ekonomi yang cukup kuat,” ucapnya.

Sri Mulyani menjelaskan ada beberapa faktor pendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV antara lain aktivitas konsumsi rumah tangga yang menguat, termasuk kategori transportasi dan leisure yang sebelumnya tertahan akibat merebaknya varia Delta Covid-19 pada kuartal III 2021.

"Kemudian, aktivitas investasi meningkat sejalan dengan membaiknya supply chain dan penyelesaian proyek strategis nasional (PSN). Pada 2021, kami perkirakan pertumbuhan ekonomi ada kisaran 3,5 persen hingga empat persen, kuartal IV pertumbuhan ekonomi diprediksi di atas lima persen,” ucapnya.

Lebih rinci, Sri Mulyani menjelaskan konsumsi dan produksi di dalam negeri sudah menunjukkan tren pemulihan pada kuartal IV 2021. Hal ini tercermin dari indeks keyakinan konsumen menjadi 118,5 pada November 2021 dan kinerja manufaktur tercatat zona ekspansif 53,9. 

Selanjutnya, indikator penjualan eceran pun diperkirakan meningkat di atas 10,1 pada November 2021. Demikian pula, faktor kinerja ekspor dan impor diperkirakan masih tumbuh tinggi hingga kuartal IV 2021. 

“Ini terutama kinerja ekspor nonmigas,” ucapnya.

Ke depan Sri Mulyani mengungkapkan momentum pertumbuhan perekonomian tersebut harus terus terjaga setidaknya sampai 2022. Meski begitu, dia mengakui ada varian omicron yang bisa saja mengganggu pergerakan perekonomian.

“Kita jaga omicron tidak mengganggu proyeksi dan momentum ini. Ini akan terus kita ulang-ulang supaya kita sadari pentingnya ikut jaga pemulihan ekonomi,” ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement