REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus memprediksi hakim tidak akan memvonis terdakwa kasus dugaan korupsi Asabri Heru Hidayat, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni pidana mati. Sebab ia melihat tuntutan pidana mati oleh JPU tidak dalam pasal dakwaan dalam surat dakwaan Heru Hidayat.
"Tuntutan jaksa tidak boleh keluar dari pasal dakwaan yang sudah dicantumkan dalam surat dakwaan. Begitu juga majelis hakim, hanya boleh membuat putusan sesuai dengan surat dakwaan," ujar Petrus kepada wartawan, Rabu (22/12).
Petrus mengingatkan penting surat dakwaan dalam perkara apapun termasuk perkara korupsi karena surat dakwaan tersebut akan menjadi koridor dan dasar dalam proses-proses persidangan. Bahkan, kata dia, surat dakwaan menjadi dasar bagi hakim dalam memutuskan perkara. Karenanya, kata Petrus, sekarang JPU tidak perlu ngotot tuntut pidana mati Heru Hidayat karena sejak awal mereka tidak memasukan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati, dalam surat dakwaan.
"Apalagi kalau jaksa membenarkan tuntutannya dengan menggunakan dalil putusan pengadilan yang sudah dibatalkan. Kalau pun ada satu dua putusan pengadilan memutuskan perkara di luar dakwaan, itu tidak bisa serta merta membenarkan apa yang ditutut jaksa dalam perkara Asabri karena aturannya sudah jelas, harus sesuai dengan surat dakwaan," jelasnya.
Menurut Petrus, hakim bakal menolak tuntutan JPU terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri karena hakim akan memutuskan perkara sesuai dengan koridor hukum yang secara jelas diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Pasal ini menyebutkan musyawarah tersebut (majelis hakim) pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
"Dalam ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP ini, diatur '… surat dakwaan DAN segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang', jadi, kata penghubung yang dipakai adalah DAN bukan ATAU. Jadi, tuntutan jaksa atau putusan hakim tidak boleh keluar dari surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan. Kalau pakai kata ATAU, maka hakim bisa memilih salah satunya, tetapi ini pakai kata DAN," jelas Advokat Senior Peradi ini.
"Hal inilah yang membuat JPU diberikan kesempatan yang seluas-luasnya memasukkan berbagai pasal, bisa dakwaan komulatif, alternatif, kombinasi, dan lain-lain saat membuat dakwaan. Nah, pertanyaannya mengapa tidak dilakukan sejak awal oleh JPU memasukkan pasal ancaman pidana mati dalam kasus Asabri ini," ujarnya.
Lebih lanjut, Petrus mengakui bahwa pidana mati bisa diterapkan bagi terdakwa yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu (bencana nasional, krisis moneter dan pengulangan tindak pidana) karena pidana mati telah diatur dalam hukum positif, yakni Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Hanya saja, kata dia, penerapannya harus sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni harus masuk dalam surat dakwaan.
"Dulu kan juga ada kasus Tipikor dengan tuntutan JPU pidana mati, yakni terhadap Dicky Iskandardinata, terdakwa pembobol bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp 1,7 triliun," ungkapnya.
Namun, tuntutan jaksa ditolak majelis hakim karena pasal dakwaan hukum matinya tidak masuk dalam surat dakwaan. Di tingkat kasasi, perkara ini diputuskan oleh majelis hakim yang ketuanya adalah Almarhum Artidjo Alkostar.
"Nah, ini hampir sama dengan tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat, yang pasal dakwaan terkait ancaman pidana mati tidak masuk dalam surat dakwaan," katanya.
Diketahui, dalam kasus tipikor yang menjerat Dicky Iskandardinata, JPU menuntut pidana mati terhadap Dicky atas pembobol bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp 1,7 triliun. Jaksa menuntut Dicky dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, namun pasal tersebut tidak masuk dalam surat dakwaan. Hasilnya, tuntutan jaksa tersebut ditolak oleh majelis hakim tingkat PN sampai kasasi dengan alasan putusan harus sesuai dakwaan. Dicky pun diputuskan dengan pidana penjara 20 tahun dan tambahan hukuman denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan.