REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Lotte Group tengah mempertimbangkan untuk membongkar proyek taman hiburannya yang terhenti di timur laut China. Proyek taman hiburan tersebut setidaknya menelan biaya investasi sebesar 10 miliar yuan atau 1,6 miliar dolar AS.
Sejumlah pihak yang mengetahui rencana ini mengungkapkan bahwa operator hotel, taman hiburan, dan toko bebas bea terbesar di Korea Selatan itu tengah bekerja sama dengan penasihat guna mengukur minat dari calon investor. Seperti dilansir Bloomberg pada Jumat (24/12), mengingat informasi itu bersifat pribadi, narasumber meminta tidak disebutkan namanya.
Sumber informasi itu mengatakan, perundingan sedang berlangsung dan tidak ada kepastian mereka akan menghasilkan transaksi. Ditambahkan, Lotte Group bahkan dapat memutuskan mempertahankan komplek tersebut.
Seorang perwakilan Lotte Group mengatakan, pembangunan taman hiburan itu sekarang dihentikan karena pandemi. Sekaligus belum ada keputusan yang diambil bagi masa depannya.
Lotte Group berencana menyelesaikan proyek Lotte Town pada 2019 di Shenyang, sebuah kota sekitar 400 mil timur laut ibu kota China, tetapi mengalami hambatan setelah konflik geopolitik yang melibatkan Beijing, Seoul dan Washington.
Lotte Group menyediakan lahan kepada pemerintah Korea Selatan uang digunakan untuk penempatan perisai pertahanan rudal Amerika Serikat (AS) yang disebut Thaad. Akibatnya, proyek taman hiburan ini ditentang keras oleh pemerintah China.
Proyek taman hiburan dihentikan setelah inspeksi keselamatan dan pajak oleh pemerintah China, yang memerintahkan penangguhan proyek Shenyang pada Desember 2016. Kompleks itu seharusnya mencakup pusat perbelanjaan, taman hiburan, apartemen, dan gedung perkantoran, dengan tujuh dari Unit Lotte berencana berinvestasi sekitar tiga triliun won atau 2,5 miliar dolar AS.
Lotte Group sedang berdiskusi dengan pejabat China untuk melanjutkan pekerjaan pada proyek tersebut pada akhir tahun 2017. Hanya saja, sentimen antiKorea di China menyebabkan penurunan penjualan, memaksa Lotte Group mulai mundur dari ekonomi terbesar kedua di dunia. Raksasa ritel itu kemudian menjual banyak asetnya di China.