Sabtu 25 Dec 2021 10:57 WIB

Presidential Threshold Dinilai Langgengkan Oligarki

Indonesia sebenarnya sangat ideal menerapkan Presidential Threshold jadi nol persen.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
  Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Maria Farida Indrati (kiri), dan Hakim MK Saldi Isra memimpin Sidang Uji Materi Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Hakim MK Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Maria Farida Indrati (kiri), dan Hakim MK Saldi Isra memimpin Sidang Uji Materi Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa mengkritisi, Presidential Threshold sebesar 20 persen yang berlaku saat ini. Dia menganggap, ketentuan itu hanya membenarkan praktik oligarki di Tanah Air.

Herry menilai, Indonesia sebenarnya sangat ideal menerapkan Presidential Threshold menjadi nol persen. Tujuannya, agar dapat meminimalisasi polarisasi politik yang begitu kuat pasca Pemilihan Umum diadakan. 

"Presidential Threshold itu jadi nol persen banyak faedahnya. Salah satunya, meminimalisasi efek minor dari polarisasi politik," kata Herry kepada Republika, Sabtu (25/12).

Herry memandang, Presidential Threshold yang mencapai 20-25 persen  sarat pertarungan oligarki politik. Sebab, syarat 20-25 persen ini membuat partai politik melakukan konsolidasi besar-besaran.

"Dari sinilah oligarki politik terbentuk dan bertarung. Jika berkuasa mereka bisa menjadi pressure group ke Presiden terpilih. Oligarki Politik jadi tumbuh subur, Ini berbahaya bagi demokrasi," ujar Herry.

Selain itu, Herry menyayangkan, pemberlakuan Presidential Threshold terus memperburuk kualitas demokrasi. Dia mengamati, saat ini, kualitas demokrasi Indonesia sedang menurun. Tercatat, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020 atau terendah dalam satu dekade terakhir menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EUI).

"Momentum mengembalikan eksistensi demokrasi Indonesia yang buruk 14 tahun terakhir salah satunya membuka kesempatan yang sebesar-sebesarnya bagi setiap warga negara untuk menjadi capres/cawapres," ujar Herry.

Herry meyakini, perubahan Presidential Threshold menjadi nol persen tidak lantas mengikis kualitas Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia. "Sejauh ini kan Pilpres pembatasannya bukan pada Presidential Threshold, tapi soal parpol atau gabungan parpol yang mengusung, substansinya di sini," lanjut Herry.

Sehingga, Herry mendorong, agar Presidential Threshold nol persen menjadi pertimbangan DPR RI dalam menjaga kualitas demokrasi. "Presidential Threshold itu produk legislasi dan tentunya DPR punya andil dalam mengoreksi hal ini, dengan langkah ini saya kira akan berdampak positif bagi perkembangan demokrasi," ujar Herry.

Sebelumnya, dua anggota DPD Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi mengajukan judicial review PT dalam UU Pemilu ke MK pada Jumat (10/12). Keduanya yang didampingi pengacara Refly Harun ingin ambang batas jadi nol persen. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement