REPUBLIKA.CO.ID, KIEV – Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Oleksiy Danilov menuding Presiden Rusia Vladimir Putin hendak menghancurkan negaranya. Kiev, kata Danilov, bertekad melawan setiap upaya agresi Moskow.
“Putin ingin menghancurkan negara kami. Akankah dia berhasil? Tidak, dia tidak akan berhasil,” kata Danilov pada Jumat (24/12), dikutip laman TRT World.
Dia mengungkapkan, jika Rusia melancarkan agresi, baik warga sipil maupun tentara Ukraina akan membentuk gerakan perlawanan nasional. “Warga kami akan melindungi negara kami,” ujarnya.
Kendati demikian, Danilov melihat sejauh ini belum ada risiko eskalasi militer berskala besar. Menurut perkiraan Ukraina, jumlah tentara Rusia di sepanjang perbatasannya telah meningkat dari 93 ribu personel pada Oktober menjadi 104 ribu personel saat ini.
“Kami tidak berpikir ini adalah lonjakan besar,” kata Danilov.
Selama bertahun-tahun, pemimpin Rusia kerap mempertanyakan legitimasi perbatasan Ukraina. Mereka bersikeras bahwa Rusia dan Ukraina adalah “satu orang”. Saat menyampaikan konferensi pers tahunan pada Kamis (23/12) lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Ukraina “diciptakan” oleh Vladimir Lenin, pendiri Uni Soviet.
Saat ini Rusia dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sedang terlibat ketegangan di wilayah Ukraina. NATO, termasuk di dalamnya Amerika Serikat (AS), telah menjamin dukungan penuh pada Kiev untuk menghadapi potensi serangan Moskow. Ukraina sebenarnya bukan anggota NATO.
Sebelumnya Vladimir Putin telah meminta jaminan Barat bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi lebih lanjut ke Ukraina. Menurutnya, langkah semacam itu menimbulkan ancaman langsung terhadap keamanan Moskow.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan pun terjadi karena terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia di sana.
Belakangan kelompok pro-Rusia itu terlibat konfrontasi bersenjata dengan tentara Ukraina, terutama di Donbass. Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements.
Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.