Senin 27 Dec 2021 16:01 WIB

Malaysia Minta Dana PBB untuk Hadapi Bencana Akibat Perubahan Iklim

Pemerintah Malaysia pertama kalinya meminta dana GCF untuk adaptasi iklim.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang pria (kiri) mendorong troli dengan anak dan barang-barangnya, sementara anggota keluarga lainnya membawa kasur, setelah banjir melanda Taman Sri Muda, distrik Shah Alam, sekitar 40 km dari Kuala Lumpur, Malaysia, 21 Desember 2021.
Foto: EPA-EFE/FAZRY ISMAIL
Seorang pria (kiri) mendorong troli dengan anak dan barang-barangnya, sementara anggota keluarga lainnya membawa kasur, setelah banjir melanda Taman Sri Muda, distrik Shah Alam, sekitar 40 km dari Kuala Lumpur, Malaysia, 21 Desember 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Malaysia meminta dana sebesar tiga juta dolar AS dari Dana Iklim Hijau PBB (GCF) untuk mengembangkan rencana nasional dalam menghadapi perubahan iklim. Kementerian Lingkungan Malaysia mengatakan, rencana nasional diambil ketika negara tersebut dilanda banjir yang telah menelantarkan hampir 700 ribu orang.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan, Zaini Ujang mengatakan bahwa, kementerian akan meminta dana GCF untuk membantu mengembangkan Rencana Adaptasi Nasional pada akhir tahun depan. Rencana tersebut akan fokus pada berbagai bidang seperti air, pertanian, dan ketahanan pangan, termasuk kesehatan masyarakat, kehutanan, dan infrastruktur. “Kementerian juga memiliki rencana jangka panjang untuk meminta dana iklim yang dapat membantu pelaksanaan program-program mengatasi dampak perubahan iklim,” kata Zaini.

Baca Juga

Zaini tidak memberikan rincian spesifik tentang rencana adaptasi, atau berapa banyak dana yang dibutuhkan pemerintah untuk mengimplementasikannya. Pemerintah Malaysia pertama kalinya meminta dana GCF untuk adaptasi iklim. Ini merupakan kebijakan yang diterapkan suatu negara untuk menangani dampak perubahan iklim.

Menurut Zaini, dana GCF yang diminta tidak seberapa besar dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk upaya mitigasi banjir. Pemerintah telah menggelontorkan anggaran sebesar 9,8 miliar ringgit untuk proyek mitigasi banjir seperti membangun penghalang air, daerah tangkapan air, dan memperdalam sungai. Namun para ahli mengatakan, implementasi rencana nasional tersebut kemungkinan akan memakan biaya lebih banyak.

“Adaptasi akan membutuhkan lebih banyak dana dibandingkan dengan mitigasi karena kita perlu merombak perencanaan kota kita, semua proyek infrastruktur yang mahal ini,” kata salah satu pendiri kelompok aktivis iklim Klima Action Malaysia, Ili Nadiah Dzulfakar.

Ili mengatakan, rancangan rencana adaptasi harus memeriksa interaksi banjir atau kekeringan pada ketahanan pangan. Termasuk, hasil panen dan kebutuhan layanan kesehatan yang hemat energi dengan sistem komunikasi yang kuat.

Pada  2018, mantan Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, Yeo Bee Yin, mengusulkan Undang-Undang Perubahan Iklim bersama dengan strategi adaptasi. Tetapi usulan itu tidak pernah diajukan ke parlemen dan kemajuannya tersendat di tengah gejolak politik pada 2020.

Malaysia biasanya mengalami banjir di pantai timurnya yang terkena angin muson timur laut antara Oktober dan Maret. Namun pihak berwenang lengah oleh curah hujan yang luar biasa deras dan banjir di daerah perkotaan berpenduduk padat di wilayah barat dan tengah. Menurut beberapa ahli, banjir diperburuk oleh drainase yang buruk dan pembangunan yang berlebihan.

Sejak 18 Desember, hujan deras telah menyebabkan banjir parah yang menewaskan sedikitnya 48 orang di delapan negara bagian Malaysia. Pemerintah menyerukan kepada semua pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap peristiwa cuaca ekstrem.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement