Kekerasan Perempuan, DP3AP2 DIY : Turun Sedikit tapi tidak Signifikan
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan | Foto: Pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY menyebut kekerasan perempuan turun di masa pandemi Covid-19. Meskipun begitu, Kepala Bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan DP3AP2 DIY, Nelly Tristiana mengatakan, penurunannya tidak signifikan.
"Angka kita turun sedikit tapi tidak signifikan, artinya tetap ada kasus kekerasan," kata Nelly saat ditemui Republika.co.id di kantor DP3AP2 DIY, Yogyakarta, Senin (27/12).
Berdasarkan data yang dihimpun DP3AP2 DIY, sejak awal hingga November 2021 sudah terdata 1.253 kasus kekerasan pada perempuan di DIY. Data ini turun dari 2020 yang tercatat 1.266 kasus kekerasan perempuan.
Sedangkan, pada 2019 tercatat kasus kekerasan pada perempuan di DIY sebanyak 1.477 kasus. Nelly menyebut, kasus kekerasan terbanyak yang dilaporkan yakni kekerasan psikis.
Adapun kekerasan tertinggi dilaporkan di Kota Yogyakarta. "Berdasarkan lokasi, Kota Yogyakarta dan (Kabupaten) Sleman terbanyak. Data kita peroleh dari lembaga-lembaga dan fasilitas pelayanan (perempuan dan anak)," ujarnya.
Turunnya kasus kekerasan dimungkinkan karena sempat ditutupnya layanan di fasilitas pelayanan perempuan dan anak selama pandemi. Terlebih saat terjadinya kenaikan kasus Covid-19 secara signifikan, sehingga layanan aduan pun tidak dapat diakses masyarakat.
"Akses untuk mendapat layanan kita sempat tergagap-gagap pada saat fasilitas pelayanan tidak optimal, yang jelas datanya agak turun sedikit," jelas Nelly.
Sementara itu, 'Aisyiyah sebelumnya mengatakan kekerasan perempuan meningkat di masa pandemi Covid-19. Ketua PP 'Aisyiyah Bidang Ekonomi, Latifah Iskandar mengatakan, salah satu pemicu meningkatnya kekerasan perempuan dikarenakan faktor ekonomi.
Upaya pendampingan pun dilakukan bagi perempuan yang mengalami kekerasan. Termasuk bantuan-bantuan hukum yang diberikan bagi perempuan korban kekerasan.
"(Perempuan jadi korban kekerasan) Karena suaminya banyak yang kehilangan pekerjaan. Saya pernah wawancara langsung, ternyata suaminya di-PHK dari Kalimantan dan di sini (di Yogya) mau kerja bingung, masih bawa uang tetapi bertahannya hanya berapa lama," katanya.