Pemilu 2024 Mendekat, Pelibatan Milenial dan Gen-Z dalam Politik Makin Urgen
Red: Fernan Rahadi
Generasi milenial/ilustrasi | Foto: Flickr
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Genderang pesta demokrasi akbar lima tahun sekali di Indonesia semakin berbunyi kencang. Saling sahut antar politisi menyambut Pemilu 2024 mewarnai diskusi publik, mulai dari aturan pemilu, hasil survei, hingga kebijakan publik yang berbungkus motif politik. Bahasan mengenai posisi generasi muda dalam politik menarik untuk disorot.
Mendominasi setengah jumlah pemilih pada Pemilu 2024 nanti, 80 juta orang muda berusia 17-35 tahun seringkali diposisikan sebagai objek ketimbang subjek dalam proses kebijakan publik. Padahal, generasi muda inilah yang menjadi motor penting penggerak pembangunan nasional yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Guru Besar Universitas Indonesia dan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Republik Indonesia Periode 2019-2021, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, dalam pembukaan acara Policy Fest (11/12) sempat menyebutkan, ketika berbicara visi Indonesia 2045 atau Indonesia Emas 2045, kita tahu ketika negara menginjak 100 tahun kemerdekaan akan banyak pertanyaan apakah negara tersebut sudah berhasil memenuhi sebagian besar harapan masyarakat.
"Ketika membicarakan bagaimana transformasi kebijakan publik yang menjadikan indonesia naik kelas ke negara maju berpendapatan tinggi, mau tidak mau akan melibatkan generasi muda yang diharapkan menjadi pilar transformasi agar negara kita bisa keluar dari jebakan kelas menengah," katanya dalam siaran pers, Senin (27/12).
Dalam kesempatan yang sama, penggiat isu kebijakan publik sekaligus CEO dan Co-Founder Think Policy, Andhyta F Utami, menjelaskan, kalau Bung Karno bilang "berikan aku 10 pemuda", tidak cukup hanya 10 pemuda saja, tetapi pemudanya juga harus berdaya dan berhimpun.
"Kami di Think Policy percaya orang muda berdaya dan berhimpun tidak hanya ingin mengguncang dunia, tetapi mampu selesaikan berbagai masalah sosial di sekitar kita. Think Policy sendiri yang dibentuk pada 2019 oleh sekelompok orang muda yang memiliki passion di kebijakan publik sebagai ruang belajar, bersuara, dan kolaborasi lintas sektor, untuk mendorong kebijakan publik berbasis bukti dan empati," ujarnya.
Andhyta menambahkan, tantangan pemuda abad 21 ini adalah tantangan baru yang belum dihadapi generasi sebelumnya, seperti isu lingkungan, tenaga kerja, keamanan digital, dan lain sebagainya.
"Inilah pentingnya kehadiran wadah-wadah yang bisa membantu generasi muda agar punya perspektif kebijakan publik dengan cita-cita negara kita menjadi negara maju, berdaulat, adil dan makmur," kata Andhyta.
Hal ini pula yang melatarbelakangi diselenggarakan Policy Fest oleh Think Policy beberapa pekan lalu, yang juga diharapkan akan mendorong kesadaran para pemangku kebijakan akan urgensi membuka ruang keterlibatan bagi orang muda dalam kebijakan publik.
Dalam acara tersebut, hadir ribuan pegiat kebijakan publik seperti pembuat kebijakan dan profesional muda dari sektor publik (ASN), swasta, bahkan politisi lintas partai yang berkumpul belajar bersama-sama mengenai urgensi kebijakan publik dalam kehidupan sehari-hari di tengah tuntutan Indonesia menuju negara maju pada 100 tahun Indonesia merdeka.
Deputi Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Taufik Hanafi, dalam acara yang sama menjelaskan dalam Indeks Pembangunan Pemuda dari Bappenas dan kementerian lainnya, pihaknya melihat ada perkembangan dua indikator yang perlu menjadi perhatian generasi muda, yakni indikator partisipasi pemuda, dan kepemimpinan pemuda yang relatif lambat dibanding indikator lainnya.
"Indikator ini melihat bagaimana pemuda jadi pemimpin terutama dalam mengusulkan solusi alternatif dalam tahapan dan tingkatan pembangunan. Untuk itu pertemuan ini menjadi sangat penting dan sangat strategis melihat peran pemuda dalam kebijakan publik yang menjadi keniscayaan dan prasyarat penting untuk keberhasilan pembangunan nasional. Besar harapan ini menjadi pemantik generasi muda dengan terus meningkatkan keterampilan dan partisipasi khususnya Think Policy yang memberi perhatian khusus terhadap perumusan kebijakan berbasis bukti dan empati," katanya.
Tercatat lebih dari 1.300 peserta yang tersebar dari 30 provinsi bahkan menjangkau diaspora di 10 negara lain berpartisipasi dalam acara Policy Fest selama dua hari penuh. Sebelumnya per Agustus 2021, tercatat Think Policy telah membangun komunitas yang terdiri atas lebih dari 500 profesional muda reformis yang menjalin kolaborasi sebagai alumni di lima pulau besar se-Indonesia, serta hampir 30 ribu komunitas daring yang dapat mengakses konten edukasi kebijakan publik secara online. Fakta ini turut menunjukkan minat orang muda yang mulai tinggi terhadap kebijakan publik.