Bagi Taliban, tantangan terbesarnya adalah bertransformasi dari kelompok-kelompok gerilyawan pemberontak menjadi badan administratif yang dapat memerintah sebuah negara yang kompleks dan beragam. Sedangkan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara NATO mengkhawatirkan terutama dua hal: kondisi ekonomi akan terus memburuk dan mendorong puluhan ribu warga Afghanistan melarikan diri ke luar negeri, dan kelompok teror seperti Al-Qaeda akan kembali menemukan tempat persembunyian yang aman.
Bagi warga biasa di Afghanistan, prioritas utamanya adalah mendapatkan makanan setiap hari, punya tempat tinggal dan mendapat pekerjaan. Khususnya perempuan mengalami berbagai hambatan dan tekanan dari kebijakan sosial Taliban. "Konsekuensi dari pengambilalihan itu adalah bencana," tulis Kate Clark dalam laporan khusus untuk Jaringan Analis Afghanistan, AAN.
Taliban, tulisnya, "tidak punya rencana tentang bagaimana mereka akan menjalankan negara Afganistan secara mandiri ". "Ketika masih berada di pihak yang melawan pemerintah, milisi Taliban memungut "pajak" dari penduduk di wilayah yang mereka kendalikan, namun tetap membiarkan layanan publik sepenuhnya urusan pemerintah, LSM dan lembaga bantuan," kata Kate Clark. "Sekarang, saat berkuasa... (Taliban) menyadari bahwa pendapatan pemerintah sangat sedikit, sementara mereka bertanggungjawab untuk keamanan maupun penyediaan pangan seluruh penduduk."
Keruntuhan birokrasi dan ancaman teror
Sejak Taliban berkuasa, situasi keamanan tidak diragukan lagi telah meningkat. Tetapi serangan-serangan para teroris ISIS juga meningkat -- terutama menargetkan kaum minoritas Syiah di negara itu dan juga anggota Taliban. Sementara perekonomian lumpuh, di saat negara ini menghadapi krisis kemanusiaan besar yang digambarkan oleh PBB sebagai "bencana kelaparan".