REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memantau pelanggaran HAM akibat konflik agraria masih terus terjadi. Bahkan, konflik ini ada yang menelan korban jiwa, luka-luka, dan bentrokan antara pihak-pihak terkait.
Komnas HAM menemukan salah satu penyebab konflik agraria ialah kehadiran mafia tanah. Aksi mafia tanah dalam pantauan Komnas HAM justru ada yang tak tersentuh hukum.
"Persoalan mafia tanah dalam tata kelola pertanahan di Tanah Air juga menjadi catatan tersendiri, karena para pelaku baik aktor maupun pelaku lapangan, belum tersentuh oleh hukum," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam webinar Catatan Akhir Tahun HAM di Indonesia pada Selasa (28/12).
Ahmad menyatakan, aksi para mafia tanah ini kian meresahkan hingga menyulitkan hidup masyarakat. Ia mengungkapkan, aksi mafia tanah yang membuat sebagian masyarakat kehilangan hak tanahnya.
"Masyarakat dirugikan oleh ulah para mafia tanah oleh karena hak asasi manusia atas kepemilikan tanah telah terancam bahkan terampas," ujar Ahmad.
Selain itu, Komnas HAM menyoroti komitmen reforma agraria yang belum maksimal meskipun sudah dicanangkan dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Komnas HAM memantau regulasi itu belum menampakkan hasilnya yang signifikan.
"Karena baru sekitar 4,3 juta hektare yang didistribusikan dari target 12 juta hektare," ucap Ahmad.
Komnas HAM mendukung komitmen Presiden Joko Widodo yang meminta supaya Kementerian ATR/BPN menarik kembali tanah-tanah HGB/HGU yang ditelantarkan. Nantinya, tanah-tanah itu bisa dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat. Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) di antaranya terkait dengan hak asasi manusia atas tanah dan sumber daya alam.
"SNP ini disusun agar menjadi panduan dan petunjuk atas prinsip dan norma hak asasi manusia dalam kaitan dengan tata kelola tanah dan sumber daya alam, supaya dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya," tutur Ahmad.