REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Pemerintah Suriah mengutuk rencana Israel menggandakan jumlah pemukim Yahudi di Dataran Tinggi Golan. Wilayah itu direbut Israel dari Suriah pasca Perang Arab-Israel pada 1967. Hingga kini Golan berada di bawah pendudukan Israel.
“Suriah mengutuk keras eskalasi berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya oleh otoritas pendudukan Israel (di Golan),” kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Suriah dalam sebuah pernyataan pada Senin (27/12), dilaporkan kantor berita resmi Suriah, Syrian Arab News Agency (SANA).
Pada Ahad (26/12), Israel menyetujui cetak biru pembangunan 7.300 unit rumah baru untuk pemukim Yahudi di Dataran Tinggi Golan. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengungkapkan, investasi baru di Golan didorong oleh pengakuan kedaulatan Israel atas wilayah tersebut oleh Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan mantan presiden Donald Trump. Selain itu, ada indikasi pemerintahan Presiden AS Joe Biden tidak akan menarik atau menentang pengakuan itu.
"Ini momen kita. Ini adalah momen Dataran Tinggi Golan. Setelah bertahun-tahun yang panjang dan statis dalam hal cakupan pemukiman, tujuan kami hari ini adalah menggandakan pemukiman di Dataran Tinggi Golan,” ujar Bennett, dilaporkan laman Aljazirah, Senin (27/12).
Bennett membutuhkan persetujuan kabinet sebelum menjalankan rencana pembangunan tersebut. Sekitar 25 ribu pemukim Israel tinggal di Dataran Tinggi Golan, bersama dengan sekitar 23 ribu suku Druze. Warga suku itu tetap tinggal di sana setelah Golan direbut Israel pada 1967. AS adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Suriah telah lama menuntut pengembalian tanah seluas 1.200 kilometer persegi tersebut, yang juga menghadap Lebanon dan berbatasan dengan Yordania. Meski pendudukannya atas Golan dianggap ilegal menurut hukum internasional, Israel tetap menancapkan kakinya di sana.