REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai kekuatan yang menentukan masa depan Indonesia, generasi milenial memiliki tantangan yang amat serius dalam menghadapi isu radikalisme. Karena itu, generasi milenial diharapkan bisa menjadi agen moderasi beragama.
"Kalangan milenial memiliki peran penting sebagai agen moderasi beragama," ujar Kasubag TU Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama, Rizky Riyadu Topek dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (29/12).
Topek menjelaskan, moderasi dalam beragama dapat terlihat melalui empat indikator, diantaranya adalah adanya komitmen kebangsaan yang kuat, sikap toleran terhadap sesama, memiliki prinsip menolak tindakan kekerasa baik secara fisik maupun verbal, serta menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang sangat beragama.
"Milenial dapat mensosialisasikan muatan moderasi beragama itu di kalangan masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis, damai dan rukun," ucap dia.
Menurut Topek, kaum milenial pada dasarnya memiliki citra lebih terdidik, terbuka, dan paham teknologi. Kemandirian generasi milenial dalam memanfaatkan teknologi, kata dia, akan mendorong mereka menuju peremajaan keyakinan dan moderatisme beragama, terutama dengan mengajukan pertanyaan dan berpikir kritis.
Namun, menurut dia, kaum milenial sendiri masih sangat rentan terhadap politik identitas yang begitu menjebak dalam beberapa tahun belakangan ini. "Untuk semua itulah kita perlu memperkuat kembali kepemilikan atas identitas kita yang sebenarnya, yaitu muslim Indonesia yang moderat, yang beragama secara ramah, toleran, dan menerima keanekaragaman," kata Topek.
Hal ini disampaikan Topek dalam acara dialog bertema "Moderasi Beragama dan Generasi Milenial” yang digelar Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Kementerian Agama di Jakarta Pusat, Selasa (28/12).
Di acara yang sama, Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Ewaldus Bole merefleksikan munculnya radikalisme dengan pertanyaan kritis.
“Ada satu pertanyaan reflektif untuk kita saat ini. Mengapa diperlukan suatu gerakan moderasi agama? Apakah persoalan terorisme dan radikalisme disebabkan oleh agama? Bagi saya akar persoalannya adalah karena kultur politik kita yang lebih mementingkan kepentingan suara mayoritas masyarakat kita," ucap dia.
Ewaldus mengatakan, ruang politik tidak pernah dibangun atas dasar kepentingan bersama, melainkan atas kepentingan kelompok yang pada akhirnya melahirkan politik identitas. "Jadi persoalan-persoalan tersebut bukan karena Agama. Agama-agama selalu mengajarkan perdamaian dan solidaritas bersama sebagai sesama manusia,” jelas dia.
Acara dialog ini dihadiri oleh peserta dari berbagai kampus dan organisasi kemahasiswaan ternama. Seluruh narasumber dalam kegiatan ini menyatakan bahwa moderasi beragama sangat penting dalam kehidupan bernegara, termasuk Ketua Bidang Kegamaan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), M. Irkham Thamrin.
“Kami mengapresiasi konsep moderasi beragama untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Irkham.