REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Bulog Jatim telah menyalurkan 16.500 ton jagung sebagai upaya pemerintah melakukan intervensi terhadap fluktuasi harga jagung di pasaran. Sebab harga jagung di pasaran jauh melebihi harga acuan tertinggi (HAP) di tingkat konsumen.
Kepala Bulog Jatim Ermin Toha mengatakan, Bulog mendistribusikan jagung kepada peternak untuk memenuhi kebutuhan peternak. Hal ini sekaligus untuk menstabilkan harga jagung, khususnya di Blitar, Tulungagung, dan Malang.
"Sebanyak 16.500 ton jagung tersebut dibagi di Blitar 15.000 ton, Tulungagung 750.000 ton, dan Malang 750.000 ton jagung yang sudah kami distribusikan sesuai dengan kuantum yang diberikan kepada kami," kata Ermin usai melakukan closing penyaluran bantuan cadangan stabilitas harga pangan (CSHP) jagung di Gedung Serba Guna Perum Bulog Kanwil Jatim, Surabaya, Rabu (29/12).
Jumlah tersebut yang ditugaskan ke Bulog Jatim dan diharapkan dengan adanya penyaluran jagung ini dapat penuhi kebutuhan jagung para peternak. Untuk distribusi ini, kata Ermin Toha, masih dijadwalkan. Namun, tidak menuntut kemungkinan akan ada kelanjutannya lagi sesuai dengan permintaan para peternak.
Bulog secara nasional memasok 30.000 ton jagung kepada peternak rakyat dengan harga yang sesuai dengan HAP sebesar Rp 4.500,00 per kilogram melalui mekanisme cadangan stabilitas harga pangan (CSHP).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan pada kesempatan itu mengatakan semua itu melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, pemerintah akan melihat kembali berbagai kebijakan dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.
"Saat ini mekanisme perdagangan yang dianut di Indonesia ini adalah mekanisme pasar. Namun, begitu harga mulai naik, pemerintah akan intervensi begitu fluktuasinya terlalu jauh," katanya.
Oke Nurwan menyebutkan pada era pandemi ini banyak yang berubah yang tadinya ditentukan dengan toleransinya plus minus 10 persen. "Ternyata lonjakannya sangat jauh dan bisa kami atur plus minusnya sekian kalau udah lebih sedikit kami intervensi. Yang perlu dipertimbangkan bentuknya yang harus berubah karena pola perdagangan berubah, kebijakan juga harus ikut berubah, jadi ini harus segera disesuaikan," kata Oke.