REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Orang yang pernah membunuh selain mendapatkan hukuman dari tindakannya, juga mendapatkan konsekuensi hukum lain dalam syariat. Salah satunya adalah pertimbangan apakah dia berhak menerima warisan atau tidak.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama fikih saling berselisih pendapat mengenai ini. Terdapat ulama yang berpendapat bahwa seorang pembunuh tidak dapat warisan sama sekali dari orang yang dibunuhnya.
Pendapat lainnya, ia bisa mewarisi tetapi hanya sedikit sekali ulama yang berpendapat seperti ini. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa harus dipisahkan antara membunuh dengan tidak sengaja dan membunuh dengan sengaja.
Para ulama yang berpendapat demikian mengatakan bahwa pada kasus pembunuhan yang disengaja, pelakunya tidak bisa memperoleh warisan sama sekali. Tetapi pada kasus pembunuhan yang tanpa sengaja, pelakunya bisa mewarisi kecuali terhadap harta diyat. Pendapat demikian diungkapkan oleh Imam Malik dan pengikutnya.
Para ulama lainnya berpendapat bahwa untuk kasus pembunuhan yang disengaja, maka harus dibedakan antara yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban dan yang bukan melaksanakan kewajiban. Contohnya seperti jika seseorang membunuh karena harus menegakkan hukuman hadd. Alhasil, apakah pembunuh tersebut dicurigai atau tidak.
Silang pendapat di antara ulama ini berpangkal pada pertentangan antara substansi aturan pokok syariat dengan pendekatan kemaslahatan. Dalam hal ini, pendekatan atau tinjauan kemaslahatan menuntut si pembunuh tidak mewaris, supaya jangan sampai terjadi banyak orang mengambil warisan dengan jalan membunuh dan mengikuti yang lahir.
Padahal, masalah ubudiyah menuntut diabaikannya pertimbangan seperti itu. Sebab jika hal itu yang dimaksud, tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan mengabaikannya. Allah berfirman dalam Alquran Surah Maryam ayat 64, “Wa maa kaana Rabbuka nasiyyan,”. Yang artinya, “Dan Tuhanmu bukanlah Dzat yang pelupa,”.
Di sisi lain, para ulama berselisih pendapat tentang pewaris non-Muslim yang kemudian masuk Islam sepeninggal si mayit dan sebelum harta warisan dibagi. Begitu pula jika si mayit tidak beragama Islam.
Menurut mayoritas ahli fikih, yang dijadikan pertimbangan adalah waktu meninggal. Jika seorang Muslim pada saat meninggal ahli warisnya bukan Muslim maka ia tidak mewarisi sama sekali, baik belakangan ia masuk Islam sebelum warisan dibagi atau sesudahnya.
Begitu pula apabila si mayit tidak beragama Islam, dan pada saat meninggalnya si ahli warisnya tidak beragama Islam, maka si pewaris mendapat warisan secara darurat. Baik belakangan ia masuk Islam sebelum atau sesudah pembagian harta peninggalan.
Menurut sebagian ulama ahli fikih, yang antara lain Al-Hasan, Qathadah, dan lainnya, yang dijadikan pertimbangan adalah saat pembagian harta pusaka. Pendapat ini diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab.
Kedua golongan tersebut sama-sama berpegangan pada sabda Rasulullah SAW, “Ayyuma daarin aw ardhin qussimat fil-jaahiliyyah fahiya ala qasmil-jaahiliyah wa ayyuma daarin aw ardhin adrakahal-islamu walam tuqsam fahiya ala maa qasamal-islam,”.
Yang artinya, “Setiap rumah atau tanah yang dibagi pada masa jahiliyah adalah menurut pembagian pada masa jahiliyah. Dan setiap tanah yang didapati Islam dan sebelum dibagi, maka harta itu dibagi menurut ketentuan pembagian Islam,”.
Sedangkan bagi ulama yang menjadikan waktu sebagai pertimbangan, mereka menghukumi barang yang dibagi pada waktu itu dengan ketentuan hukum Islam. Sementara bagi ulama-ulama yang menjadikannya keharusan pembagian sebagai pertimbangan, mereka menghukumi barang yang dibagi dengan ketentuan Islam pada waktu meninggalnya si mayit.