REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) mengerahkan KRI Parang-647, untuk menarik perahu kayu pengangkut pengungsi etnis Rohingya yang membawa lebih dari 100 orang dari titik ditemukan di 53 NM Bireuen, perairan Aceh menuju Pelabuhan Kruengkeukuh, Kota Lhokseumawe pada Kamis (30/12) pagi WIB.
Lokasi Pelabuhan Kruengkeukuh, dipilih mengingat perlunya sarana labuh, sterilisasi lokasi untuk pemeriksaan kesehatan, dan penegakan protokol kesehatan (prokes). Hal itu agar tidak terjadi keramaian yang dapat menganggu proses pemeriksaan kesehatan dan lebih dekat dengan tempat karantina, sekaligus tempat relokasi di medan jika diputuskan untuk di relokasi.
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono mengatakan, pihaknya memerintahkan unsur KRI dan prajurit untuk melaksanakan penarikan kapal pengungsi. Keputusan itu diambil setelah ada perintah resmi dari pemerintah atas dasar kemanusiaan.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama (Laksma) Julius Widjojono mengatakan, penarikan kapal pengungsi telah dilaksanakan sejak pukul 06.00 WIB. Hal itu setelah dipastikan kondisi cukup terang dan aman untuk proses pengikatan dan penarikan kapal di tengah ombak laut lepas. "Estimasi akan tiba di Pelabuhan Kruengkeukuh, Lhokseumawe sekitar pukul 18.30 WIB," kata Julius.
Pemerintah Indonesia melalui Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Inspektur Jenderal (Irjen) Armed Wijaya pada Rabu (29/12), memutuskan, untuk mendaratkan para pengungsi Rohingya. Lokasi kapal pengungsi berada tengah laut, sekitar 53 mil dari perairan Bireuen, Aceh. Langkah ini diambil atas nama kemanusiaan.
"Keputusan ini kita buat mempertimbangkan kondisi darurat yang dialami pengungsi di atas kapal tersebut," ujar Armed yang juga Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN). Menurut dia, etnis Rohingya di kapal tersebut didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Selama ini, etnis Rohingya kabur dari Myanmar karena mencoba menghindari tekanan militer negaranya.