Kamis 30 Dec 2021 18:08 WIB

Raja Salman: Iran Harus Bekerja Sama dalam Kesepakatan Nuklir

Arab Saudi sangat prihatin dengan kebijakan rezim Iran.

Rep: Rizky Jaramaya/Dwina/ Red: Teguh Firmansyah
Raja Saudi Salman.
Foto: AP/Amr Nabil
Raja Saudi Salman.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz meminta Iran untuk berhenti mendukung kelompok milisi di wilayah tersebut. Raja Salman juga meminta Iran untuk bekerja sama dalam upaya internasional untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 atau JCPOA.

“Iran adalah tetangga Kerajaan (Saudi) dan kami berharap itu akan mengubah kebijakan dan perilaku negatifnya di kawasan dan bergerak ke arah dialog dan kerja sama,” ujar Raja Salman, dilansir Alarabiya, Kamis (30/12).

Raja Salman mengatakan, Arab Saudi sangat prihatin terhadap kebijakan keamanan dan stabilitas rezim Iran yang tidak stabil di kawasan. Saudi bersama dengan negara-negara Teluk lainnya telah lama mendorong Iran untuk berhenti memberikan dukungan keuangan dan militer kepada jaringan milisi proksinya di Timur Tengah, termasuk di Yaman, Irak, Lebanon, dan Suriah.

Raja Salman menyebutkan, sejumlah tindakan negatif Iran di kawasan, di antaranya membentuk dan mendukung milisi sektarian dan bersenjata, dan penyebaran sistematis kemampuan militernya di negara-negara regional. Selain itu, Iran juga gagal untuk bekerja sama dengan komunitas internasional mengenai program nuklirnya, termasuk pengembangan rudal balistik.

Saat ini, dunia menanti hasil pembicaraan di Wina apakah dapat menghidupkan kembali JCPOA atau gagal. Amerika Serikat mengatakan, jika diplomasi dengan Iran tidak berhasil, mereka akan mengambil langkah lain. Israel yang merupakan sekutu AS telah berulang kali mengumumkan bahwa mereka sedang mempersiapkan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran.

Mantan presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari JCPOA pada 2018. Setelah pemerintahan Trump menarik diri dari kesepakatan itu, Iran mulai mundur dari komitmennya dalam membuat senjata nuklir.

Iran memurnikan uranium ke tingkat kemurnian yang lebih tinggi dari batasan yang ditetapkan dalam JCPOA. Namun, Iran mengatakan, mereka siap untuk kembali ke batasan pemurnian uranium sesuai kesepakatan setelah AS mencabut sanksi ekonomi Iran.

Iran sejauh ini mengaku telah memurnikan uranium hingga 60. Sumber intelijen mencatat bahwa Iran masih membutuhkan satu hingga dua tahun untuk mengembangkan teknologi senjata yang memadai dan mengubah uranium dengan kemurnian tinggi menjadi bom nuklir.

Para diplomat dari Inggris, China, Prancis, Jerman, dan Rusia telah berusaha untuk membawa Washington kembali ke dalam kesepakatan nuklir. Mereka meyakinkan Teheran untuk mematuhi kesepakatan dan menerapkan semua pembatasan pada program nuklirnya.

Sejauh ini, AS berpartisipasi secara tidak langsung dalam pembicaraan di Wina. Arab Saudi dan negara-negara Teluk perlu dilibatkan dalam pembicaraan nuklir karena mereka secara langsung memiliki pengaruh di kawasan tersebut.

Pejabat Rusia

Sementara itu, pejabat tinggi Rusia untuk Iran Rusia Mikhail Ulyanov pada Rabu (29/12) telah bertemu perwakilan Amerika Serikat (AS) di Wina. Delegasi dari kedua belah pihak mengatakan Moskow dan Washington sedang berkoordinasi dalam upaya untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran 2015 .

Ulyanov menulis di Twitter bahwa dia telah bertemu dua kali dengan utusan khusus AS untuk Iran, Robert Malley. Dia mengunggah foto dirinya dan diplomat AS yang duduk di seberang meja panjang.

"Konsultasi dan koordinasi erat antara delegasi Rusia dan AS selama pembicaraan di Wina merupakan prasyarat penting untuk kemajuan menuju pemulihan JCPOA," tulis Ulyanov merujuk pada kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement