Kamis 30 Dec 2021 21:55 WIB

Lembah Hijau Rumbia Siap Mendunia

Pandemi tak surutkan langkah Ridwan bersama pemuda desa untuk membangun Lembah Hijau

Rep: Teguh Firmansyah/ Red: Gita Amanda
Kesejukan dan keasrian Lembah Hijau Rumbia.
Foto: Dok istimewa
Kesejukan dan keasrian Lembah Hijau Rumbia.

REPUBLIKA.CO.ID, Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 19.00 malam waktu Indonesia tengah. Ridwan Nojeng masih sibuk menyelesaikan monumen bambu yang akan menjadi salah satu spot foto terbaru di Lembah Hijau Rumbia, Desa Tompobulu, Jenoponto, Sulawesi Selatan.   

Ada empat orang yang membantu Ridwan Nojeng malam itu. Keempat orang itu adalah pemuda desa setempat. Bambu-bambu setinggi sembilan meter itu mereka susun berdiri, miring dan menyilang hingga menyatu dalam lingkaran.

Di bagian tengah, dibuat semacam holahop dari rakitan kayu yang menjadi sandaran bambu-bambu tersebut. Monumen ini mengingatkan akan ikon Dusun Bambu di Lembang Jawa Barat, namun dengan bentuk yang berbeda.

Ridwan melihat dengan detil penyelesaiannya agar sesuai rancangan. Setelah bekerja semalaman, monumen bambu itu akhirnya berdiri dan siap menjadi spot baru bagi pengunjung Rumbia di tahun baru 2022. Kerja keras Ridwan dan pemuda desa terbayar sudah. "Menjelang tahun baru ini kami sudah siapkan spot terbaru ini," ujar Ridwan, pendiri Lembah Hijau Rumbia ketika berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (29/12).  

photo
Menyelesaikan pembangunan monumen bambu hingga larut malam - (Dok istimewa)

 

Menurut Ridwan, bambu-bambu itu merupakan inovasi teranyar yang dihadirkan di Lembah Hijau, Rumbia. Inovasi, jelasnya, merupakan suatu keharusan agar Lembah Hijau bisa terus bertahan dan berkembang.  

Apalagi, ia mengaku, pandemi Covid-19 telah memukul cukup dalam industri pariwisata di Jenoponto, termasuk di Lembah Hijau Rumbia. Jumlah pengunjung menurun drastis. Bahkan ketika awal pandemi dan saat tingginya kasus Covid-19, tidak ada seorang pun yang berkunjung ke Rumbia. "Menjelang puasa minggu terakhir liburan biasanya kami mendapat Rp 20 juta sehari, tapi ini kemarin hanya Rp 700 ribu," katanya.  

Menurut pria yang lahir dan besar di Jenoponto ini, pandemi telah menyebabkan berkurangnya wisatawan hingga 90 persen. Ia pun terpaksa merumahkan sejumlah staf karena memang tidak ada pemasukan. Industri wisata benar-benar mati suri.   

Namun, pandemi Covid-19 tidak meruntuhkan semangat Ridwan. Justru pada saat krisis ini, ia terus berinovasi dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman baru yang bisa dinikmati oleh para pengunjung.

Kini, setelah kasus Covid-19 telah mereda, jumlah pengunjung perlahan mulai meningkat. Tempat penginapan atau vila di Rumbia telah semuanya dipesan jelang malam tahun baru. Harganya bervariasi, ada yang Rp 1,2 dan Rp 1 juta per malam. "Tanggal 29, 30, 31 Desember, semua sudah habis di-booking. Total ada sembilan vila," ujarnya sambil tersenyum.  

Salah satu keunggulan dari Lembah Hijau adalah kesejukan udara dan pemandangannya yang asri. Wisatawan dapat mendengar suara serangga dan burung dengan jelas seperti di tengah hutan. Lembah Hijau menjadi oase di tengah permukiman penduduk. Pada malam hari, pengunjung bisa ikut bakar sate bersama dan menikmati kuliner lokal.  

Lembah Hijau juga memiliki banyak fasilitas buat pengunjung. Di antaranya seperti kolam renang, penginapan, gazebo, tempat bermain, edukasi anak, lapangan hijau, dan beragam spot foto menarik lainnya. Lembah Hijau memiliki ayunan tinggi yang kerap dinikmati oleh pengunjung.

photo
Spot monumen bambu yang baru saja diselesaikan. - (Dok istimewa)

 

Lokasi desa wisata ini juga bisa dimanfaatkan sebagai panggung hiburan, baik untuk pertunjukkan seni musik maupun sendratari. Pengelola pun menawarkan adventure trip dengan menggunakan mobil melintasi tiga kabupaten, menggunakan mobil jip seperti layaknya di tempat wisata Bromo.

Merangkul masyarakat

Desa Tompobulu di Rumbia, awalnya hanyalah sebuah desa yang tandus. Tidak pernah terpikir oleh kebanyakan warga pada umumnya menjadikan sebuah desa wisata. Namun ketekunan dan kegigihan Ridwan Nojeng mengubah semua itu.

Ia memutar otak bagaimana bisa membangun dan memberdayakan masyarakat desa. "Saya merenung dan berpikir bagaimana agar bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Dan akhirnya saya mulai dari pertanian," kata ayah tiga anak tersebut.

Ridwan lalu mulai mencoba-coba membuat produk pupuk organik pada tahun 2007. Ia melakukan uji silang bahan agar menemukan komposisi yang pas untuk menghijaukan lahan tandus di Desa Tompobulu.

Tidak mudah memang mendapat racikan yang tepat. Baru setelah berulangkali mencoba, Ridwan menemukan olahan pupuk yang sesuai. Pupuk-pupuk organik inilah yang ikut membantu menghijaukan desa.  

Penemuan pupuk ini sejalan dengan program penghijauan yang ia lakukan bersama Komunitas Lembah Hijau setahun sebelumnya yakni pada 2006. Penghijauan dilakukan di wilayah sekitar Lembah. Secara konsisten, komunitas ini menanam pohon dengan melibatkan warga sekitar. Ridwan membagikan pupuk organik ke masyarakat untuk bertanam.

Awalnya memang tidak mudah untuk mengikutkan warga, karena karakter masyarakat Jenoponto yang terkenal ''keras''. Ridwan mengaku pernah diremehkan bahkan dianggap kurang waras. Namun setelah mereka melihat bukti, warga akhirnya mau ikut terlibat.

"Saya rekrut anak mereka untuk buat pupuk, lalu anaknya itu mempraktikkan di rumah. Orang tua melihat hasilnya, lalu mereka baru mau ikut," jelasnya.

Hasil penanaman pun dapat dirasakan hingga saat ini.  Lembah Hijau tumbuh asri. Pada 2010, pembangunan desa wisata dimulai. Empat tahun kemudian, pada 2014, Lembah Hijau resmi dibuka untuk umum sebagai tujuan wisata.  

Tak kalah penting, warga juga semakin akrab dengan pupuk organik dalam bertani karena sudah terbukti meningkatkan produksi pertanian. Mereka juga merasa memiliki Lembah Hijau Rumbia sebagai bagian dari kehidupan desa.

"Secara kasat mata, dulu sebelum jadi desa wisata orang pakai mobil Avanza sudah konglomaret, sekarang petani sudah pakai mobil Pajero atau Fortuner, artinya ada derajat ekonomi meningkat," jelasnya.

Syarif Sirua, salah seorang warga desa yang juga pegawai lepas di Lembah Hijau Rumbia ikut merasakan dampak positif dari tempat wisata yang dirintis Ridwan. "Waktu saya menganggur, kami bisa bergabung kerja di sana," ujarnya kepada Republika.co.id.

Menurut Syarif, kehadiran Lembah Hijau direspons positif oleh warga desa. Maklum, sebelum Lembah Hijau hadir, penghasilan masyarakat sekitar yang mayoritas berprofesi sebagai petani terbilang rendah. Kini dengan ada wisatawan dari luar pendapat masyarakat kian variatif dan meningkat.

"Bangga karena bisa mengangkat nama kecamatan juga," tutur Syarif yang terkadang mendapat tugas sebagai penerima tamu itu.  

photo
Salah satu tempat penginapan di Lembah Hijau Rumbia - (Dok istimewa)

 

Tugas belum selesai

Ridwan merupakan salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Award dari PT Astra Internasional Terbuka pada 2016 lalu. Penghargaan itu diberikan atas jasa Ridwan dalam mendorong penghijauan dan membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Komunikasi dengan Astra pun hingga kini masih terjalin. Ridwan beberapa kali diminta untuk menjadi pembicara di kampus dalam memberikan inspirasi bagi mahasiswa.  

Bagi Ridwan, penghargaan dari Astra ini merupakan pelecut baginya untuk terus berinovasi. Ridwan menilai tugasnya untuk membangun desa belumlah selesai. Banyak harapan dan impian yang masih ingin diraihnya. Ia ingin membawa wisata di Rumbia mendunia. "Saya targetkan ke depan, (wisatawan) mancanegara sudah masuk ke sana (Rumbia)," ujarnya.

Caranya, selain dengan terus menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, adalah dengan menggali budaya-budaya lokal. Selama ini budaya-budaya lokal yang belum terekspos dengan baik.  "Seperti tari, musik tradisional, atau ritual pernikahan. Kita libatkan sanggar seni yang ada di sana," paparnya.

Sebagai gambaran, salah satu tarian tradisional di Jenoponto adalah Tarian Olle. Tarian ini sudah ada ratusan tahun lalu untuk menyambut tamu agung dari Jenoponto. Daerah ini juga mempunyai sejumlah sanggar tari seperti Kipasta, Ipass Bambu, SSB Baran, dan Turannu.

Sebenarnya, lanjut Ridwan, turis asing sudah pernah ada yang datang. Namun saat ini ia masih tahan dulu sambil memperbaiki fasilitas yang berada di Lembah Hijau. Ini penting agar wisman tidak kecewa.  

Ia pun tak bosan-bosan untuk mengedukasi masyarakat dalam pengembangan wisata agar Rumbia bisa mendunia. Karena seperti halnya di Bali, kesuksesan suatu wilayah dalam pengembangan wisata tak terlepas dari faktor sumber daya manusia. "Jenoponto wataknya keras, saya strateginya lain. Jangan mengajarkan mereka, tapi berikan saja bukti," ungkapnya.

Tak kalah penting, Ridwan juga mempromosikan Lembah Hijau Rumbia melalui media sosial. Instagram Lembah Hijau Rumbia sudah memiliki 36,6 ribu pengikut. Lembah Hijau juga bekerja sama dengan Traveloka atau Tiket.com untuk memasarkan penjualan tiket.

Ia pun bersyukur, dalam dua bulan terakhir, pengunjung ke Rumbia sudah semakin meningkat menyusul meredanya pandemi Covid-19. Ratusan orang sudah datang setiap pekannya. Pria kelahiran 1984 itu pun mulai mempekerjakan kembali staf yang sempat dirumahkan.

Jenoponto merupakan wilayah dengan 11 kecamatan. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Gowa, Takalar dan dan Bantaeng. Pada 2020, BPS mencatat jumlah penduduk di Jenoponto mencapai 803.220 jiwa. Sebanyak 25 ribu orang di antaranya tinggal di Rumbia. Data Pemkab Jenoponto menyebut pada 2017, penduduk miskin di Jenoponto mencapai 55.300 jiwa.

photo
Ridwan Nojeng duduk di gapura yang baru selesai dibangunnya di Lembah Hijau Rumbia, Jenoponto. - (Dok istimewa)

 

Pemerhati wisata nasional Sulistiyo Purnomo Pambudi merespons positif keinginan Ridwan untuk membawa desa wisata di Rumbia agar go international. Menurut Sulistyo, ada sejumlah langkah agar keinginan tersebut tercapai. Pertama adalah dengan memaksimalkan kearifan lokal dan memberdayakan masyarakat. 

"Misal potensi kuliner, alam, atraksi atau ritual-ritual budaya yang bisa menjadi komoditas untuk ditawarkan pada wisatawan," ujarnya kepada Republika.co.id.

Jika kekuatan internal sudah baik, maka tinggal bagaimana mendorongnya ke luar. Oleh karena itu, strategi kedua, menurut Tio –sapaan akrab Sulistyo- adalah pemasaran. Semua potensi itu perlu diperkenalkan melalui berbagai jendela informasi. "Stakeholder perlu mendukung adanya kebijakan regulasi yang ikut membantu pengembangan wisata di daerah," ujar pemilik Smart Tour and Travel itu.

Ketiga, yang tak kalah penting adalah menggandeng pelaku wisata sehingga tidak berjalan sendiri. Pelaku wisata ini bisa membantu mengenalkan desa wisata keluar. "Jangan lupa membuat kalender wisata, biar wisata luar mengetahui agenda kegiatannya," ujarnya.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga mendorong pengembangan desa wisata. Menparekraf Sandiaga Uno dalam keterangannya meyakini bahwa desa wisata akan menjadi game changer dan peluang untuk mendorong kebangkitan Indonesia pascapandemi. 

“Pemerintah pusat all out mengangkat potensi desa wisata di tengah pandemi," katanya. Ia pun mendorong identifikasi karena yang membedakan desa wisata yang satu dengan desa wisata lainnya selain keindahan alam adalah sumber daya manusianya.

Hal itu juga yang menjadi perhatian Ridwan Nojeng sejak membangun Lembah Hijau di Rumbia yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan membangun infrastruktur pendukung. Jika semua ini, tercapai, maka kebesaran Lembah Hijau Rumbia hanya tinggal menunggu waktu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement