Jumat 31 Dec 2021 03:14 WIB

'Perubahan Harga DMO Batu Bara Tambah Beban Negara'

harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik PLN dipatok maksimal 70 dolar AS.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (24/11/2021). Pemerintah Kota Palembang berencana memungut retribusi sebesar Rp4 ribu per ton kepada angkutan batu bara yang melintas di Sungai Musi yang akan diterapkan mulai tahun 2022 mendatang.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (24/11/2021). Pemerintah Kota Palembang berencana memungut retribusi sebesar Rp4 ribu per ton kepada angkutan batu bara yang melintas di Sungai Musi yang akan diterapkan mulai tahun 2022 mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan perubahan batas harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) untuk kebutuhan pembangkit listrik di dalam negeri dengan menyesuaikan harga pasar bakal mendongkrak potensi tambahan belanja subsidi dan kompensasi pemerintah sebesar Rp 91,6 triliun. 

Abra menyebut harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik PLN saat ini dipatok maksimal sebesar 70 dolar AS per ton. Apabila harga DMO dilepas mengikuti harga pasar maka akan terjadi penambahan biaya produksi akibat kenaikan harga batu bara acuan (HBA) yang diperkirakan rata-rata 150 dolar AS per ton pada 2022.

Baca Juga

"Jika asumsi harga DMO batu bara mencapai 150 dolar AS per ton, maka ada potensi tambahan belanja subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai Rp 22,9 triliun serta peningkatan belanja kompensasi mencapai Rp 68,7 triliun," ujar Abra dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (30/12).

Sementara itu, lanjut Abra, dengan asumsi harga DMO batu bara mencapai 150 dolar AS  per ton maka potensi tambahan keuntungan pengusaha batu bara hingga Rp 37,7 triliun

"Artinya secara total subsidi dan kompensasi terdapat tambahan Rp 91,6 triliun anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah  apabila dilakukan kenaikan harga DMO batu bara hingga 150 dolar AS per ton. Jadi pengusaha yang paling diuntungkan dari kebijakan ini," ungkap Abra.

Menurut Abra, potensi tambahan pendapatan negara dari PNBP, PPN, dan PPh pada harga DMO 150 dolar AS per ton mencapai Rp 47,9 triliun. Dengan demikian, lanjut Abra, potensi pendapatan negara jauh lebih rendah dibandingkan potensi tambahan kenaikan belanja subsidi listrik dan kompensasi dengan selisih Rp 43,7 triliun. 

Selain beban fiskal pemerintah, ucap Abra, pelepasan harga DMO batu bara akan berdampak langsung terhadap kenaikan biaya produksi listrik, dimana faktor penentunya adalah energi primer berupa batu bara.

"Artinya potensi kerugian akan jauh lebih besar bagi PLN. Apalagi biaya pembelian batu bara terhadap total beban usaha PLN cukup signifikan, rata-rata mencapai 15,4 persen per tahun dalam empat tahun terakhir," ucap Abra.

Terkait fenomena kenaikan harga komoditas sumber daya alam, Abra menilai pemerintah terkesan melakukan liberalisasi dengan berencana melepas harga DMO batu bara. Padahal, batu bara masih sangat diperlukan untuk penyediaan ketenagalistrikan di Tanah Air. 

"Artinya pemerintah tidak boleh juga latah ingin mendapatkan pendapatan dari batu bara secara jangka pendek, tetapi di sisi lain mempunyai dampak sangat serius. Bukan hanya pada dampak kenaikan harga produksi PLN, tetapi juga buat keberlangsungan bisnis PLN itu sendiri, dan juga buat tarif listrik kepada masyarakat," kata Abra menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement