Kamis 30 Dec 2021 23:25 WIB

Kelompok Bersenjata Jarah Gudang Makanan PBB di Darfur Utara

Lebih dari 1.700 ton makanan yang akan dibagikan telah dijarah.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Kekerasan di Darfur (ilustrasi).
Foto: VOA
Kekerasan di Darfur (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTUM -- Pihak berwenang di negara bagian Darfur Utara, Sudan mengumumkan jam malam setelah orang-orang bersenjata tak dikenal menjarah gudang Program Pangan Dunia (WFP) dan fasilitas yang digunakan oleh bekas misi penjaga perdamaian. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, lebih dari 1.700 ton makanan yang akan diberikan kepada 730 ribu orang yang rentan selama sebulan dijarah dari gudang di ibu kota, El Fasher, pada Selasa (28/12) malam.

"Satu dari tiga orang di Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan.  Serangan seperti itu sangat menghambat kemampuan kami untuk memberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkannya. Kami menyerukan kepada pemerintah Sudan untuk meningkatkan upaya melindungi, dan menjaga tempat serta aset kemanusiaan di seluruh Sudan,” kata koordinator kemanusiaan PBB Khardiata Lo N'diaye, dilansir Aljazirah, Kamis (30/12).

Baca Juga

Gubernur Darfur, Mini Minawi mengecam tindakan barbar tersebut. Dia mengatakan, mereka yang bertanggung jawab atas penjarahan di gudang makanan PBB akan menghadapi hukuman.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres juga mengutuk penjarahan tersebut. Guterres mengatakan, lebih dari 1.900 metrik ton atau 1.700 ton komoditas makanan telah dijarah. Persediaan makanan itu bertujuan untuk memberi makan 730 ribu orang yang rentan selama sebulan.  “Persediaan itu diberikan kepada pihak berwenang Sudan untuk penggunaan sipil,” kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric.

Guterres meminta pemerintah Sudan untuk memulihkan ketertiban pihak. Dia juga mendesak pihak berwenang Sudan untuk memfasilitasi lingkungan kerja yang aman untuk operasi PBB di El Fasher.

Penarikan misi gabungan PBB dan Uni Afrika, UNAMID, mengakhiri 13 tahun operasi penjaga perdamaian pada Desember tahun lalu. Guterres mengatakan, sebagian besar peralatan dan persediaan dari pangkalan yang dijarah bertujuan untuk digunakan oleh komunitas Sudan.

Peningkatan kekerasan telah memaksa sebagian besar warga meninggalkan rumah mereka di Darfur selama setahun terakhir. Pekerja kemanusiaan dan analis mengatakan, peningkatan eskalasi terjadi di antara faksi-faksi bersenjata yang berebut posisi setelah kesepakatan damai ditandatangani dengan beberapa kelompok pemberontak pada akhir 2020. Termasuk kembalinya para pejuang dari negara tetangga Libya.

Wilayah itu juga mengalami lonjakan konflik sejak Oktober yang dipicu oleh perselisihan atas tanah, ternak dan akses air dan penggembalaan. Sekitar 250 orang tewas dalam pertempuran antara penggembala dan petani.

Banyak pengungsi meninggalkan rumah mereka ketika militer dan milisi sekutu bergerak untuk menghancurkan operasi bersenjata di Darfur dari 2003, dalam konflik yang menewaskan sekitar 300 ribu orang. Kekerasan terjadi ketika Sudan mengalami gejolak politik setelah kudeta yang dipimpin oleh panglima militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan pada 25 Oktober. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, lebih dari 14 juta orang Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun depan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement