Oleh : Syaiful Arif, staf ahli MPR RI dan Penulis buku Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2016)
REPUBLIKA.CO.ID, Dr (HC) KH As’ad Said Ali kembali meluncurkan buku terbaru pada November 2021 kemarin. Buku tersebut bertajuk Perjalanan Intelijen Santri (Jakarta: LP3ES, 2021). Ini merupakan buku keenam yang memotret perjalanan beliau sebagai intelijen dari kalangan santri.
Bukan kali ini saja Kiai As’ad menulis buku. Sebelumnya ia telah menerbitkan buku; (1) Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati (2008), (2) Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009), (3) Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2021), (4) Al-Qaeda (2014), dan (5) Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa (2019). Semua buku beliau diterbitkan oleh LP3ES, lembaga pengkajian sosial, politik dan kemasyarakatan ternama.
Perjalanan intelektual Kiai As’ad tidak hanya berkisar di dunia intelijen, sebuah dunia misterius yang membesarkannya sebagai pejabat negara dan tokoh nasional. Dalam buku-buku yang diterbitkan sebelumnya, perjalanan intelektual itu bisa terlihat.
Misalnya dalam buku pertamanya, Pergolakan di Jantung Tradisi; Kiai As’ad melakukan analisa terhadap tradisi di Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar, dimana ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015). Bagi Kiai As’ad, NU tidak semata organisasi, melainkan sub-kultur Islam yang unik, independen namun bisa mengubah kultur masyarakat bangsa.
Sebagai organisasi tradisionalis, kekuatan NU terletak dalam tradisi tersebut. Meminjam istilah Martin van Bruinessen (1994), kaum Mahdliyin memiliki kesadaran diri tradisionalisme (self-consciousness traditionalism). Sebuah kesadaran diri bahwa mereka adalah kaum tradisionalis, dan bangga dengan tradisionalisme tersebut. Kebangaan atas tradisi itu terlihat dalam perannya sebagai intelijen yang dengan bangga dilekatkan dengan identitas santri.
Buku kedua tentang Pancasila, sama dengan buku kelima. Jika dalam buku kedua, Kiai As’ad menulis wacana umum tentang Pancasila. Maka dalam buku kelima, beliau menulis wacana keislaman tentang Pancasila.
Dalam buku Negara Pancasila, Kiai As’ad melakukan elaborasi historis “pengalaman pengamalan Pancasila”, mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru. Di era Orde Lama, pengalaman tersebut mengacu pada pengamalan Pancasila secara ideologis melalui doktrin Maipol-USDEK.
Sedangkan di era Orde Baru, pengamalan Pancasila dilakukan secara normatif melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Kesejarahan Pancasila juga diletakkan dalam proses perumusan Pancasila. Dalam kaitan ini, Kiai As’ad dengan cerdas membaca peran stretagis pidato 1 Juni Bung Karno sebagai titik temu (kalimatun sawa’) antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Menurutnya, alasan mengapa pidato 1 Juni Bung Karno diterima oleh semua anggota BPUPKI ialah karena keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam usulannya tentang Pancasila.
Meskipun letak sila ketuhanan di 1 Juni berada di sila kelima, namun keberadaan sila tersebut akhirnya menjembatani jurang ideologis kelompok Islam dan nasionalis.
Mengapa? Karena bagi kelompok Islam, sila Ketuhanan YME yang diusulkan Soekarno mencerminkan tauhid, doktrin paling utama dari Islam. Sedangkan bagi kelompok nasionalis, sila Ketuhanan YME justru mewakili pandangan keagamaan yang inklusif dan mewakili semua agama. Pembacaan terhadap urgensi sila ketuhanan ini tentu saja lahir dari kacamata santri, yang mendekati sejarah Pancasila dari perspektif keagamaan.
Intelijen dan hadits
Sejatinya, buku-buku yang ditulis sebelum buku Perjalanan Intelijen Santri ini merupakan bagian dari perjalanan Kiai As’ad sebagai intelijen. Artinya, beliau adalah intel Nahdliyin yang sangat konsen dengan Pancasila, serta menegakkan ideologi bangsa di tengah munculnya ideologi-ideologi politik pasca-Reformasi.
Perjalanannya menjadi intelijen pun menarik untuk disimak. Kiai As’ad adalah putra dari Kiai Said bin Ali, seorang pengusaha di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.