REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Pembatasan baru di Inggris untuk memperlambat penyebaran Covid-19 hanya akan diberlakukan sebagai upaya terakhir. Demikian kata Menteri Kesehatan (Menkes) Sajid Javid.
Dia menekankan bahwa meski tingkat rawat inap meningkat, jumlah pasien yang dirawat di unit intensif stabil. Penyebaran pesat varian Omicron di seluruh Inggris Raya telah membuat angka kasus mencapai rekor. Pada Jumat (31/12), kasus baru hampir mencapai 190 ribu.
Pembatasan baru tidak diterapkan di Inggris yang menyumbang lebih dari 80 persen populasi Inggris Raya. Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara telah memberlakukan pembatasan Covid-19, termasuk membatasi jumlah orang yang berkumpul, penutupan kelab malam, dan aturan jaga jarak di pub.
"Pembatasan atas kebebasan kita harus menjadi upaya terakhir yang mutlak," tulis Javid dalam sebuah artikel yang dimuat harian Daily Mail pada Sabtu.
"Kita harus memberi diri kita sendiri kesempatan terbaik untuk hidup bersama virus itu dan menghindari aturan ketat di masa depan," kata dia.
Pada 27 Desember, Javid mengatakan tak ada aturan pembatasan baru yang akan diberlakukan di Inggris sebelum akhir 2021. Artikelnya juga mengisyaratkan hal yang sama pada 2022. Menurut dia meski lonjakan Omicron mengkhawatirkan, Inggris Raya memulai tahun yang baru dengan posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan 12 bulan sebelumnya berkat tingkat vaksinasi yang tinggi melawan Covid-19.
"Jumlah unit perawatan intensif stabil dan tidak mengikuti lonjakan yang terjadi pada waktu yang sama tahun lalu selama gelombang Alpha," tulis dia.
Javid mengakui akibat jeda waktu antara infeksi dan rawat inap, kenaikan tinggi pada jumlah orang yang perlu dirawat oleh Layanan Kesehatan Nasional (NHS) menjadi tak terelakkan. "Kemungkinan hal itu akan menguji kapasitas NHS yang terbatas, bahkan lebih dari musim dingin biasanya," katanya seraya mendesak masyarakat untuk semaksimal mungkin menjaga diri mereka sendiri.