REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, menyampaikan, kalau mengamati dan mencermati serta menganalisis perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia. Termasuk di dalamnya kehidupan keagaman di mana Muhammadiyah hadir.
Prof Haedar mengatakan, Indonesia selalu menghadapi problem yang bersifat aspektual atau berbagai aspek. Tapi pada saat yang sama, sesungguhnya mengalami progres di dalam kehidupan ini. Misalkan kehidupan demokrasi dan HAM dalam berbagai dimensinya, jujur mengalami kemajuan yang luar biasa setelah reformasi. Kemajuan itu berjalan dari periode ke periode dan dari fase ke fase sampai sekarang.
"Tapi sebagaimana perjalanan kehidupan manusia pada umumnya, itu tidak selalu atau tidak akan sepi dari masalah, dari tantangan dan rintangan," kata Prof Haedar saat menyampaikan pidato dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2021 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu (29/12).
Ia mengatakan, ketika berbicara demokrasi sebagai bagian dari aspek kehidupan politik, termasuk di dalamnya HAM. Tentu merasakan Indonesia maju sampai bangsa ini disebut sebagai negara ketiga demokrasi setelah Amerika Serikat (AS) dan India.
"Tapi juga kita punya banyak catatan tentang perkembangan demokrasi, HAM, toleransi dan berbagai kaitannya, karena perkembangan demokrasi prosedural tidak selalu linear dan sejalan, itu tidak selalu linier dan sejalan atau berbanding lurus dengan demokrasi yang substantif," ujarnya.
Ia menerangkan, untuk sampai pada demokrasi yang substantif, tentu memerlukan proses pendewasaan dan konsolidasi demokrasi. Pendewasaan pada warga dan elit warga. Sementara pada aspek konsolidasi itu menyangkut sistem, sampai mana sebenarnya tolok ukur Indonesia semakin maju dalam demokrasi, HAM dan lain sebagainya.
Prof Haedar mengatakan, dalam posisi ini sering terjadi perbedaan parameter. Ketika memakai standar internasional juga sering terkait dengan parameter khas dari kultur di mana standar internasional itu lahir, termasuk kultur barat yang dominan.
"Sampai seberapa jauh kita menjadi negara demokrasi ketika pada saat yang sama dapat nilai-nilai yang memang bangsa Indonesia itu punya karakter yang khas, ini persoalan yang selalu akan menjadi dinamika dalam kehidupan demokrasi kita, soal gotong royong dan lain sebagainya," ujarnya.
Ia mengatakan, jadi parameter demokrasi yang instrumental itu tidak selalu pas dengan demkorasi yang bersifat kultural dalam konteks keindonesian. Kalau membaca secara letterlek di sila keempat, kerakyat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawartan perwakilan.
Menurutnya, kerakyatan itu demokrasi, itu selalu dalam konteks nilai Pancasila sebagai dasar negara. Itu dikaitkan dengan tiga nilai. Pertama, nilai hikmah kebijaksanaan. Kedua, nilai permusyawaratan. Ketiga, nilai perwakilan atau fungsi perwakilan.
"Ketika terjadi perubahan pasca reformasi, apakah dua nilai yaitu musyawarah dan kebijaksanaan itu melekat dengan substansi dari kemajuan kita berdemokrasi, ini menjadi masalah yang tidak sederhana untuk mengukur seberapa jauh kemajuan demokrasi itu, kalau memakai parameter-parameter internasional tentu akan selalu kurang," jelas Prof Haedar.
Ia mengatakan, tapi seberapa jauh secara kualitatif, Indonesia masuk pada mengukur perkembangan demokrasi, HAM, dan toleransi dengan nilai-nilai yang hidup di negeri ini. "Ini agenda yang dalam buku kami disebut dengan perlunya rekonstruksi kehidupan kebangsaan di bidang politik," jelasnya.