REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo merespons usulan agar Polri di bawah naungan kementerian. Usulan tersebut berasal dari kajian internal Lembaga Ketahanan Nasional.
Namun, Tjahjo menilai, posisi Polri harus tetap mandiri sebagai lembaga. "Polri harus mandiri sebagai alat negara sebagaimana BIN dan TNI," ujar Tjahjo, Ahad (3/1) malam.
Karena itu, ia mengatakan, saat ini pemerintah juga tidak ada rencana melakukan penggabungan Polri ke kementerian manapun. “Yang saya pahami memang tidak ada rencana Polri di bawah kementerian,” ujar mantan menteri dalam negeri tersebut.
Pengamat kepolisian, Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto, juga menilai penempatan organisasi Polri di bawah presiden seperti yang berlaku saat ini sudah tepat dan sesuai konstitusi UUD 1945. "Sebagai negara hukum harus mengikuti aturan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002," kata Sisno dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Senin (3/1).
Karena itu, menurutnya, usulan menempatkan organisasi Polri harus berada di bawah kementerian adalah pemikiran yang inkonstitusional. Ia menilai wacana tersebut justru mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum.
Selain itu, ia juga memandang usulan Lemhannas tersebut tidak hanya usang, tetapi dianggap ide yang sembarangan yang tidak memahami sistem kepolisian di dunia maupun sistem kepolisian yang berlaku di Indonesia.
Sisno menjelaskan, sistem kepolisian di dunia terbagi menjadi tiga, yaitu sentralistik, tersebar, dan integral. Sejumlah negara yang menganut sistem kepolisian sentralistik, antara lain, Perancis, Italia, China, Filipina, Thailand, Malaysia.
Kemudian sistem politik Tersebar (fragmented) seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belgia, dan Integral seperti di Jepang, Jerman, Australia, Selandia Baru. "Polisi Indonesia (Polri) menuju sistem integral, tetapi masih sentralistik. Polri pernah memakai sistem tersebar sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan 30 Juni 1946, di mana ada polisi Surabaya, polisi Medan, polisi Bandung, dan polisi Makassar dengan sebutan Hoof Bireuo," tutur Penasihat KBPP Polri itu.
Baca juga:
- Pakar Sebut Usulan Polri di Bawah Kementerian Bukan Hal Baru
- Polri Tegaskan Profesional Usut Kasus Bahar Bin Smith
- Lerai Keributan, Polisi Jadi Korban Pengeroyokan di Tanjung Priok
Ia juga menguraikan sejumlah prinsip bahwa Polri harus berada di bawah presiden. Pertama, untuk menegakkan hukum, ketertiban, dan keamanan harus ada alat negara (Polisi) yang sekaligus melaksanakan tugas-wewenang administrasi presiden di bidang keamanan dan ketertiban.
Kedua, sistem administrasi kepolisian di semua negara terkait dengan sistem administrasi negara, sistem peradilan pidana, dan sistem keamanan negara dari negara tersebut. "Demikian pula negara Indonesia, walaupun ada Amendemen UUD 1945, suatu fakta bahwa semenjak 1 Juli 1946, Polri merupakan kepolisian nasional yang berada di bawah perdana menteri/presiden," ujarnya.
Selain itu, Sisno mengatakan, dengan menempatkan Polri di bawah presiden, memungkinkan kapolri untuk ikut dalam sidang kabinet agar situasi dapat secara langsung mengikuti perkembangan situasi nasional sehingga dapat bertindak cepat dalam mengatasi setiap masalah aktual dan strategis. Keikutsertaan kapolri dalam sidang kabinet, bukan berarti kapolri merupakan menteri sebagai bagian dari anggota kabinet, namun hanya sebagai 'cabinet member', tepatnya pejabat negara setingkat menteri.
Selain itu, kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan yang berada di bawah presiden memiliki makna bahwa Polri sebagai perangkat pemerintah pusat yang lingkup wewenangnya meliputi seluruh wilayah Indonesia. Satuan kewilayahan Polri (polda di level provinsi, polres di level kabupaten/kota, dan polsek di level kecamatan) merupakan perangkat Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah, bukan perangkat daerah.
Baca juga : Bambang Widjajanto: Adnan Buyung Nasution Banyak Lahirkan Orang Hebat
"Baik UUD 1945, Tap MPR No. VII/MPR/2000, maupun UU No. 2 Tahun 2002, menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum," kata ketua penasihat ahli kapolri tersebut.
"Sebagai alat negara, Polri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden selaku kepala negara (head of state). Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, adalah sudah benar dan sangat tepat Polri berada langsung di bawah presiden bukan di bawah menteri," katanya.
Baca juga: Ini Prediksi Awal Ramadhan 2022
Sebelumnya, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen Agus Widjojo mengusulkan agar dibentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Khusus untuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri, kata Agus, nantinya akan menaungi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Usulan itu berdasarkan hasil kajian di internal Lemhannas.
Menurut Agus, masalah keamanan memang masuk dalam portofolio Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, jika memang tugas dan beban Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sudah banyak maka perlu dibentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri, yang Polri berada di bawah koordinasinya. Hal itu juga seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
"Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogianya diletakkan di bawah salah satu kementerian, dan Polri seperti TNI, sebuah lembaga operasional. Operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan ketertiban oleh Polri," kata Agus.