REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL - Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in berjanji menggunakan akhir masa jabatanya untuk menekan perdamaian secara resmi dengan Korea Utara (Korut). Upayanya tetap ia gencarkan meskipun Korut masih diam mengenai deklarasi damai antara kedua belah pihak.
"Pemerintah akan mengejar normalisasi hubungan antar-Korea dan jalan perdamaian yang tidak dapat diubah sampai akhir," kata Moon dalam pidato Tahun Baru terakhirnya sebelum masa jabatan lima tahunnya berakhir pada Mei, Senin (3/12) waktu setempat.
"Saya berharap upaya dialog akan berlanjut di pemerintahan berikutnya juga," ujarnya menambahkan.
Baca: Negara-Negara Eropa Dikepung Kasus Covid-19 Omicron
Moon mendorong deklarasi akhir perang itu sebagai cara untuk memulai kembali negosiasi macet dengan Pyongyang pada 2018 dan 2019. Pemerintahannya telah mengisyaratkan diskusi jalur lain. Namun, Korut belum secara terbuka menanggapi desakan terbaru Moon maupun Amerika Serikat (AS). AS mengatakan mendukung gagasan tersebut meski mungkin tidak setuju dengan Korsel mengenai waktunya.
"Memang benar bahwa jalan masih panjang," kata Moon. Namun, menurutnya jika hubungan antar-Korea membaik, masyarakat internasional akan mengikuti.
Moon mengatakan jangkauannya ke Korut telah dimungkinkan oleh penumpukan militer besar yang membantu membuat Korsel lebih aman. "Perdamaian mungkin terjadi pada keamanan yang kuat," katanya.
Namun demikian, Pemimpin Korut Kim Jong-un dalam pidatonya pada Malam Tahun Baru tidak menyebutkan seruan Moon untuk sebuah deklarasi yang secara resmi mengakhiri Perang Korea 1950-1953 maupun pembicaraan denuklirisasi yang terhenti dengan Amerika Serikat (AS). Pada 2018-2019 Moon mengadakan beberapa pertemuan puncak dengan Kim, termasuk sekali di Pyongyang. Namun pertemuan itu buntu.
Baca: Kuba Rayakan Ulang Tahun Revolusi Ke-63
Negosisasi dilakukan sebelum pembicaraan terhenti di tengah ketidaksepakatan atas tuntutan internasional agar Korut menyerahkan gudang senjata nuklirnya. Ini merupakan seruan Pyongyang untuk Washington dan Seoul untuk meringankan sanksi dan hapus kebijakan bermusuhan lainnya.
Pandemi Covid-19 pun menambah kebuntuan dengan Korut, ketika Pyongyang menempatkan negara itu ke dalam penguncian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara Moon menghadapi tekanan domestik untuk meredam wabah virus corona besar pertama di luar China pada awal 2020.
Baca: China Kembali Berlakukan Lockdown di Perkotaan
Sejak itu, Korsel menggunakan pelacakan dan penelusuran yang agresif. Korsel juga memberlakukan aturan jarak sosial dan kampanye vaksinasi yang terlambat tetapi menyeluruh untuk menjaga keseluruhan kasus dan kematian relatif rendah menurut standar global.
Pada Desember lalu, Moon sempat menyatakan bahwa secara prinsip Korsel dan Korut sudah sepakat untuk resmi berdamai. Kendati demikian, Moon tak menyangkal, salah satu tantangan untuk dimulainya pembicaraan tentang kesepakatan damai formal adalah tuntutan Korut. Pyongyang bersikeras, sebelum pembicaraan semacam itu digelar, Amerika Serikat (AS) harus terlebih dulu menarik kehadirannya dari Korsel. Washington pun harus mencabut sanksi terhadap Korut.
Menurut Moon, Korut selalu mengajukan tuntutan itu sebelum pembicaraan apa pun. Di sisi lain, AS sebagai sekutu Korsel kerap menegaskan, ia tak akan mencabut sanksi apa pun sebelum Korut meninggalkan program senjata nuklirnya. “Oleh karena itu, kami tidak bisa duduk untuk berdiskusi atau berunding mengenai deklarasi (damai) tersebut. Kami berharap pembicaraan akan dimulai,” ujar Moon saat berkunjung ke Australia pada 12 Desember lalu, dikutip laman Axios.
Moon menekankan, deklarasi akhir perang sendiri bukan tujuan akhir. Namun hal itu akan menjadi langkah penting dalam membuka jalan untuk memulai kembali negosiasi denuklirisasi serta perdamaian di Semenanjung Korea.
Korsel dan Korut terlibat dalam peperangan pada 1950-1953. Perang itu berakhir dengan gencatan senjata dan tanpa perjanjian damai. Jadi secara teknis, saat ini kedua negara masih dalam kondisi berperang.