REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah mencatat inflasi pada 2021 masih relatif terjaga level 1,87 persen. Jika dibandingkan inflasi negara lain sudah di atas 10 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, inflasi di berbagai negara sudah meningkat dan negara-negara tersebut bahkan sudah melakukan pengaturan suku bunganya, terutama di negara emerging market.
"Jadi, Indonesia inflasi relatif terjaga 1,87 persen. Secara domestik kita lihat berbagai komponennya cukup terjaga, tapi kita harus simak pada 2022 harus kita waspadai," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTA 2021, Senin (3/1).
Sri Mulyani mencontohkan inflasi di Brazil sudah di atas 10 persen, Rusia inflasinya 8,4 persen, Meksiko 7,4 persen, Afrika selatan inflasinya 5,5 persen sudah menaikan satu kali 25 bps, Inggris inflasinya di atas 5 persen, dan Korea Selatan inflasinya sebesar 3,7 persen.
Eropa pun inflasinya sudah mendekati lima persen, India inflasinya 4,9 persen, Jepang kenaikan inflasi sebesar 0,6 persen. "Inflasi yang terjadi di Jepang itu merupakan sesuatu yang positif, pasalnya Jepang biasa menghadapi deflasi," ucap Sri Mulyani.
Namun, lanjut Sri Mulyani, di antara negara tersebut yang perlu menjadi perhatian yakni inflasi dari Amerika Serikat sebesar 6,8 persen, sebelumnya masih kisaran 6,1 persen dan itu merupakan inflasi terburuk dalam 30 tahun terakhir.
Kemudian China inflasinya 2,3 persen, per 20 Desember China menurunkan suku bunga lima basis poin (bps) menjadi 3,8 persen. "Ternyata November (inflasi Amerika Serikat) naik lagi menjadi 6,8 persen, tahun depan diperkirakan akan ada kenaikan suku bunga di Amerika Serikat," ucapnya.
Sri Mulyani menyebut laju inflasi harga konsumen (IHK) mulai menunjukkan tren meningkat perlu diwaspadai transmisi imported inflation akibat tingginya tekanan harga global.
“Jika dilihat contributor core inflation terutama makanan, pendidikan, kesehatan relatif ada kenaikan. Namun belum sampai menimbulkan kewaspadaan," ucap dia.