REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uji material atau judicial review terhadap besaran ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) sebesar 20 persen sudah beberapa kali diajukan sejumlah pihak. Namun, gugatan tersebut selalu ditolak oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Fitra Arsil mengungkapkan, ada beberapa persoalan yang sering muncul dalam gugatan-gugatan tersebut. "Pertama, soal legal standing. Kedua, MK anggap PT sebagai open legal policy sehingga bukan persoalan konstitusionalitas. Karena itu, MK merasa nggak berwenang memutuskan, dan ketiga, soal materi pokok permohonannya sendiri," kata Fitra kepada Republika, Selasa (4/1).
Terkait persoalan legal standing atau kedudukan hukum, Fitra mengatakan judicial review tidak harus diajukan oleh calon presiden yang dianggap menjadi korban dari aturan presidential threshold 20 persen tersebut. Menurutnya, ada beberapa putusan yang lolos legal standing-nya walau bukan diajukan oleh capres korban.
"Prabowo kalau ajukan gugatan malah bisa nggak lolos juga soal legal standing karena Parbowo pimpinan partai politik yang ada di DPR yang notabene ikut membahas UU yang diujikan. Ada putusan MK yang begitu. Parpol yang ikut membahas UU nggak punya legal standing menguji UU tersebut di MK," jelasnya.
Kendati demikian, Fitra memandang, gugatan terhadap presidential threshold 20 persen masih sangat terbuka kemungkinan dikabulkan hakim MK. Bahkan, menurutnya, peluangnya cukup besar.
Salah satu kuncinya adalah dengan melakukan formulasi yang akurat mengenai pasal yang dijadikan batu uji yang akan berpengaruh kepada putusan open legal policy. "Mengenai pokok permohonan dapat diformulasi dengan banyak cara, antara lain memberikan argumentasi tentang formulasi yang tepat memadukan antara sistem pemilihan presiden, pemilu serentak, dan penguatan sistem presidensial," kata dia.
"Termasuk membuat permohonan bukan kepada hilangnya PT melainkan mencari formulasi prosentase PT yang paling memenuhi keadilan dan mendukung penguatan demokrasi. Prosentase PT harus memiliki rumus dan formulasi yang kuat bukan sekadar angka yang tanpa argumentasi ilmiah hanya karena proses bargain politik," imbuhnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran (Unpad) Susi Dwi Harijanti mengatakan, legal standing merupakan 'pintu masuk' seseorang atau kelompok memperjuangkan hak konstitusional. Ia menjelaskan, secara teori dimungkinkan ada pembatasan-pembatasan tertentu.
"Misalnya menggunakan tax payer hanya untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan pajak," ucapnya.
Baca juga:
- Pakar: Konstitusi tak Tegas Larang Presidential Threshold
- Pakar: Presidential Threshold Bisa Diubah Bila Ganggu Demokrasi
- Pengamat Ingatkan Presidential Threshold 20 Persen Prakarsa Demokrat dan SBY
Susi juga mengatakan, saat hakim melakukan penilaian apakah pemohon memiliki legal standing atau tidak maka hakim seyogyanya menilai pula nilai perkara tersebut. Artinya, apakah UU yang diujikan mempunyai dampak yang luas pada bidang-bidang lain, misalnya demokrasi melalui pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
"Jika dengan threshold yang sedemikian sehingga rakyat tidak memiliki pilihan yang memadai, maka sebaiknya MK mampu melakukan penafsiran yang luas karena dengan banyaknya permohonan uji materil terhadap ketentuan 20 persen berarti rakyat tidak puas terhadap ketentuan tersebut," tuturnya.
Partai Ummat bakal mengajukan judicial review terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Partai Ummat mendorong agar MK menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen sebagai syarat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
"Partai Ummat memandang aturan ini tidak masuk akal dan tidak sehat karena ini cara tidak fair untuk menjegal calon yang potensial dan cara untuk melanggengkan kekuasaan oligarki yang dikuasai oleh para taipan. Kita perlu darah baru dan generasi baru untuk memimpin bangsa besar ini," kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi di Kantor DPP Partai Ummat, Tebet, Jakarta, Senin (3/1).
Baca juga: Baru Dua Hari PTM Penuh, SMAN 11 Semarang Diminta Evaluasi
Selain itu, Ridho mengungkapkan, alasan lain Partai Ummat mengajukan gugatan ke MK lantaran tidak logisnya hasil pemilu 2019 dipakai sebagai dasar pencapresan pada pemilu 2024. Menurutnya, pemilu serentak seharusnya menggugurkan persyaratan ambang batas 20 persen.
"Pertama, dalam jangka waktu lima tahun segala sesuatu bisa berubah. Hasil pemilu 2019 sangat bisa dipertanyakan keabsahannya bila mau dipakai sebagai dasar pencapresan pada pemilu 2024. Kedua, akal sehat tidak bisa membenarkan aturan 20 persen ini karena bertentangan dengan pemilu serentak. Partai Ummat ingin mengajak kita semua berpikir yang lurus,“ ujarnya.
Selain itu, Ridho menambahkan, Indonesia sangat memerlukan calon-calon pemimpin yang potensial untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada kader terbaik bangsa. Menurutnya upaya tersebut hanya bisa terjadi bila syarat ambang batas 20 persen dihapuskan menjadi nol persen.
"Partai Ummat mengajak semua anak bangsa untuk ikut meruntuhkan kuasa oligarki yang menggunakan tameng 20 persen untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara tidak fair. Ini jelas anti demokrasi yang harus kita ubah,“ tuturnya.
Ridho mengungkapkan Partai Ummat juga menunjuk Refly Harun dan Denny Indrayana sebagai penasihat hukum sekaligus pengacara. Sementara Partai Ummat juga membentuk tim judicial review yang dikoordinir oleh Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani.
Baca juga: Catatan 29 Tahun Republika: Mencari Cara Lain Menyapa Semesta