Rabu 05 Jan 2022 00:37 WIB

Alasan Pakar Yakin Gugatan PT 20 Persen Kali Ini Bisa Dikabulkan MK

Kuncinya adalah lewat formulasi akurat atas pasal yang menjadi batu uji materi ke MK.

Red: Andri Saubani
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sebuah sidang uji materi presidential threshold di Gedung MK Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sebuah sidang uji materi presidential threshold di Gedung MK Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Rizkyan Adiyudha

Partai Ummat menyatakan, akan mengajukan judicial review (JR) terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Partai Ummat mendorong agar MK menghapus ketentuan PT 20 persen sebagai syarat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Baca Juga

"Partai Ummat memandang aturan ini tidak masuk akal dan tidak sehat karena ini cara tidak fair untuk menjegal calon yang potensial dan cara untuk melanggengkan kekuasaan oligarki yang dikuasai oleh para taipan. Kita perlu darah baru dan generasi baru untuk memimpin bangsa besar ini," kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi di Kantor DPP Partai Ummat, Tebet, Jakarta, Senin (3/1).

Tidak hanya Partai Ummat, sebelumnya, sebanyak 27 warga negara Indonesia (WNI) dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Belanda, Perancis, Swiss, Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Australia, dan Qatar juga akan mengajukan gugatan perkara yang sama ke MK. Kuasa hukum mereka adalah Denny Indrayana dan Refly Harun.

Denny menjelaskan, permohonan gugatan diajukan pada 31 Desember 2021 pukul 22.00 WIB secara daring. Pemohon menghendaki agar MK menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena telah membatasi hak masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi presiden.

"Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin maju mencalonkan diri menjadi presiden dan justru memperkuat oligarki partai politik. Akibatnya, partai politik cenderung mengabaikan kepentingan rakyat," ujar Denny lewat keterangan tertulisnya, Selasa (4/1).

Adapun Refly menjelaskan, presidential threshold menghadirkan budaya membeli kandidat calon presiden. Hal tersebut terjadi karena mahalnya biaya politik, sehingga ambang batas tersebut menjadi komoditas transaksi dalam perhelatan pesta demokrasi.

"Ini justru menandai demokrasi kriminal, di mana hanya yang berkuasa dan berduit lah yang dapat menentukan siapa-siapa saja yang dapat menjadi calon presiden," ujar Refly.

Berkaca pada Pemilihan Presiden pada 2014 dan 2019, terdapat dua pasangan calon yang sangat erat kaitannya dengan elite partai politik. Hal itu adalah dampak nyata akibat adanya presidential threshold yang justru menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik.

"Harapan para pemohon yang merupakan diaspora Indonesia, yakni tanah air dan kampung halaman mereka dapat tetap terbangun dengan terpilihnya pemimpin yang hadir dari masyarakat dan mewakili kepentingan masyarakat," ujar Refly.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement