REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut bahwa kebutuhan hukum masyarakat dan dinamika perkembangan tujuan hukum telah mengalami pergeseran. Dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Sehingga, dalam penegakan hukum sangatlah tergantung pada aparaturnya.
"Baik-buruknya penegakan hukum sangat bergantung pada aparatur penegaknya," kata Burhanuddin di acara Pengurus Pusat Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Periode 2022-2024, Rabu (5/1/2022).
Menurut Burhanuddin, aturan hukum merupakan sesuatu yang rigid atau kaku. Sehingga dalam penegakannya perlu kepekaan hati nurani setiap aparatur untuk mencapai keadilan restoratif dan memberi kemanfaatan.
"Aturan hukum merupakan sesuatu yang rigid (atau kaku). Namun dalam penegakannya memerlukan kepekaan hati nurani untuk mencapai keadilan restoratif dan memiliki nilai kemanfaatan," katanya.
Sementara, restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil.
Sehingga, aturan hukum akan dapat diterapkan dengan baik ketika berada di tangan aparat penegak hukum yang baik. Sebaliknya, hukum yang baik sekalipun akan rusak dan membawa petaka bila berada di tangan aparat penegak hukum yang buruk.
Maka, Burhanuddin menekankan kembali akan pentingnya integritas sebagai modal utama dan dasar dalam menjaga suatu kehormatan profesi dan institusi adalah dengan memiliki integritas yang tinggi.
Burhanuddin mengimbau kepada seluruh jajarannya untuk menjaga integritas dalam setiap pelaksanaan tugas. Dengan begitu, maka marwah institusi akan terjaga dan tentunya hal ini akan dapat meningkatkan kepercayaan publik dari masyarakat.
"Saat ini tren kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan cukup baik. Hal ini jangan lantas membuat kita mudah berpuas diri, melainkan justru menjadi pelecut semangat kita untuk terus meningkatkan kinerja dan menghasilkan banyak torehan prestasi," katanya.
Sementara, pengarahan itu disampaikan Burhanuddin saat acara pelantikan pengukuhan 58 orang Pengurus Pusat Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Periode 2022-2024, secara virtual dari ruang kerja di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru.
"Selamat bekerja dan berkarya dalam menjalankan amanah. Serta tidak lupa, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pengurus Pusat PJI pada periode sebelumnya yang telah memberikan kontribusi dan dedikasi bagi perkembangan PJI dan Kejaksaan," ujar Jaksa Agung.
Dalam kesempatan ini, Jaksa Agung menyampaikan beberapa pokok isu yang dapat menjadi perhatian oleh Pengurus PJI yang baru.
Pertama terkait dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Di samping itu, kita dihadapkan pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dan Rancangan KUHAP yang mana kita harus all out untuk mengawalnya. Kiranya melalui forum PJI ini dapat memfasilitasi rangkaian pelaksanaan FGD atau seminar internal tersebut," ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung menilai, perlu untuk segera membentuk semacam Forum Group Discussion (FGD) atau seminar internal guna membahas lebih dalam dan menyamakan pandangan para Jaksa atas norma-norma yang terkandung dalam undang-undang serta menyiapkan langkah-langkah strategis apa yang perlu untuk dilakukan bersama.
Kedua, isu terhadap amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 masih terus bergulir. Menurut Jaksa Agung, penguatan Kejaksaan secara kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan harus terus diperjuangkan. Dia meminta, PJI harus dapat mengambil peran dan memiliki strategis khusus untuk dapat menempatkan institusi kita berada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Jaksa Agung juga mencermati Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) PJI yang telah berlaku sejak 25 November 2013 perlu untuk dilakukan perubahan sesuai dengan perubahan regulasi dan perkembangan zaman.
Selanjutnya, Jaksa Agung meminta kaji dan cermati setiap regulasi yang bertentangan dan kontraproduktif dengan pembangunan sistem hukum di Indonesia. Baik regulasi yang tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku maupun regulasi yang tumpang tindih. Sehingga dapat melemahkan kewenangan institusi. Jika diperlukan segara lakukan permohonan uji materiil, baik ke Mahkamah Agung maupun ke Mahkamah Konstitusi.