Tren Adopsi Spirit Doll Bisa Ganggu Psikopatologi
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi spirit doll (boneka arwah) | Foto: Pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Nurul Hartini menanggapi tren adopsi spirit doll atau boneka arwah yang akhir-akhir ini menggemparkan jagat hiburan. Boneka yang hanya sebagai benda mati, namun sebagian orang menjadikannya seperti mahluk hidup.
Beberapa orang tersebut bahkan tidak segan untuk merawat para boneka arwah layaknya seorang bayi. Nurul melihat fenomena tersebut sebagai hal yang perlu menjadi perhatian karena dirasanya mengarah kepada perilaku yang tidak wajar.
Menurutnya, ketika seseorang menganggap boneka tersebut hidup dan percaya bahwa mereka akan bertumbuh besar, maka hal itu telah keluar dari batas akal sehat. "Perilaku tersebut menjadi keanehan tersendiri yang disebabkan oleh berbagai faktor,” ujar Nurul, Kamis (6/1).
Salah satu faktor yang menurutnya menjadi penyebab yakni mengikuti tren di kalangan selebritis. Padahal, kata dia, bisa jadi para selebritis tersebut hanya mencari sensasi agar popularitasnya naik. Meskipun demikian, lanjut Nurul, segala sesuatu tetap ada batasnya agar justru tidak merugikan kesehatan mental.
Menurutnya, apabila perilaku itu dibiarkan terjadi secara terus-menerus, maka akan berdampak terhadap kondisi kesehatan mental seseorang. Jika ketidakwajaran itu tidak segera dihentikan, maka berisiko pada keadaan psikopatologinya yang meliputi ketidakstabilan fungsi kejiwaan seperti indera, kognisi, dan emosi.
"Segala kondisi berisiko harus ditangani sedini mungkin agar tidak semakin sulit untuk mengembalikan kepada kondisi yang rasional dan realistis,” ujar Nurul.
Ia melanjutkan, sejatinya bagi sebagian orang boneka dapat menjadi strategi pemulihan mental atau coping stress. Misalnya ketika seseorang pernah kehilangan anaknya, maka boneka dapat menjadi terapi psikologis bagi mereka.
"Karena secara psikologis juga boneka bisa menjadi sarana penyegaran pikiran bagi individu selama tidak berlebihan dan harus tetap di bawah pendampingan dari psikolog atau psikiater,” jelasnya.
Akan tetapi, kata Nurul, terlepas dari manfaat tersebut, sejatinya boneka hanyalah benda mati. Mereka hanya menjadi perangkat yang tidak memiliki hal-hal khusus, kecuali hanya pengaruh dari perlakuan sang pemilik.
Ketika seseorang memperlakukan boneka secara spesial, Nurul mengimbau agar mencari tahu alasannya. Apabila hanya mengarahkan kepada perilaku negatif yang melampaui batas kewajaran, maka harus segera dihentikan agar tidak terjebak pada situasi yang kurang sehat, baik secara psikologis maupun mental.
Orang yang mungkin dekat dengan individu yang berperilaku di luar batas tersebut, kata Nurul, memiliki kewajiban untuk membantu mereka. Nurul pun menyarankan agar terlebih dahulu menanyakan penyebab mereka bertindak demikian. “Selagi jawabannya masih rasional, ya tidak apa-apa,” kata dia.
Lain halnya ketika ketidakwajaran semakin jelas terlihat, yakni benar-benar menganggap boneka itu hidup, maka dapat memberi nasehat bahwa perilaku mereka mulai mengkhawatirkan. Terakhir jika masih tidak ada perubahan, maka dapat membantu mengarahkan mereka untuk datang ke psikolog atau psikiater.
“Kuncinya adalah rasional, realistis, dan proporsional. Selama tiga hal itu terpenuhi, maka kita senantiasa objektif dalam memikirkan, merasakan, dan melakukan segala hal,” ujarnya.